Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid


Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

Asumsi bahwa al-Qur’an sâlih li kulli zamân wa makân, menurut mereka (ulama kontemporer), mesti dipahami berbeda dengan tradisi ulama klasik. Meski prinsip dan misi utama al-Qur’an tetap sama, tapi semangat al-Qur’an menurut sebagian orang, bisa saja berbeda jika ditangkap oleh beberapa orang atau generasi yang berbeda.[1] Hal ini karena perkembangan situasi sosial politik, budaya, ilmu pengetahuan, dan revolusi informasi, turut memberi andil dalam usaha memaknai kembali teks-teks keagamaan.
Nasr Hamid Abû Zaîd (1943-2010)[2], di antara para pemikir muslim yang mengajukan pendekatan hermeneutik al-Qur’an dia banyak mendapat inspirasi hermeneutika dari kalangan Mu’tazilah dan E.D Hirsch. Jr. Untuk mengawali teorinya, ia menegaskan akan pentingnya pemahaman tentang al-Qur’an. Dengan meminjam teori kemakhlukan al-Quran Mu’tazilah, Abû Zaîd memandang al-Qur’an sebagai teks seperti halnya teks lain pada umumnya.[3] Sebagaimana Mu’tazilah memandang, Lauh al-Mahz tidak bersifat qadîm-azalî, namun sama dengan al-‘Arsy dan al-Kursî yang diciptakan Tuhan.  Karena jika Lauh al-Mahz bersifat qadîm-azalî, maka akan ada anggapan tentang keberagaman dzat yang qadîm, dan ini tidak mungkin. Lebih lanjut, jika memang Lauh al-Mahfûdz bersifat hadits (tercipta), maka al-Qur’an yang tertulis di dalamnya tidak mungkin bersifat qadîm.[4] Oleh karnanya, Mu’tazilâh berpandangan bahwa al-Qur’an bersifat hadits dan makhluk, karena ia tidak termasuk sifat-sifat dzat Tuhan yang azalî, melainkan sifat-sifat tindakan Tuhan (sifat al-af’al al-Ilahiyyah). Dan Abû Zaîd menyatakan: “Justru pandangan Mu’tazilah ini lebih sejalan dengan semangat akidah Islam”.[5]  Dengan demikian, maka menurut Abû Zaîd, firman Tuhan yang berupa sifat-sifat tindakan Tuhan, merupakan fenomena sejarah. Sebab, semua tindakan Tuhan adalah tindakan “di dunia” yang tercipta dan hadits, dengan kata lain, bersifat historisitas. Lebih jelasnya lihat sekema di bawah ini:
Mu’tazilah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk karena ia diciptakan, maka pada saat itu, menurut Abû Zaîd, Mu’tazilah[6] menganggap al-Qur’an sebagai tindakan Tuhan yang acap kali berkaitan dengan realitas. Ia juga menganggap bahwa al-Qur’an bukan lagi teks Tuhan yang sakral, tetapi telah bergeser menjadi teks manusia yang nisbi (samar) dan maknanya selalu berubah, karena telah masuk dalam pemahaman manusia yang relatif. Oleh karna itu al-Qur’an berubah wajah menjadi teks yang profan sebagai mana teks-teks lain, maka teks ini bisa didekati dengan pendekatan apapun sebagai mana teks-teks lainnya.[7]
Abû Zaîd, menawarkan bahwa hermeneutika harus berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna kesejarahan teks (al-Ma’na al Tarikhi) dan pengertian atau interpretasi baru (al-Maghza) yang ditarik dari makna kesejarahan tersebut.[8] Menurut Abû Zaîd, makna historisitaslah yang pertama-tama harus dipahami oleh penafsir dengan terlebih dahulu melakukan pembacaan pada struktur internal teks dan dimensi historisitas. Karena mengabaikan konteks, hal itu dapat menjerumuskan pada jurang angan-angan mitologis, di samping mengabaikan level-level konteks lainnya, menjadikan pemaknaan dan pentakwilan kita terhadap teks menjadi rancu dan tidak jelas.[9]
Dengan meminjam hermeneutika Hirsch[10] Abû Zaîd membagi makna al-Qur’an menjadi dua; (1) makna objektif yakni makna awal (dalalatuhu al-asliyâh) yang terdiri dari dua bentuk: historisitas dan metaforik; dan (2) makna al-Maghza atau signifikansi, yakni level kata yang maknanya dapat diperluas ke dalam kultur yang berbeda dari kultur awal. Setelah makna objektif telah ditemukan, kemudian mengaitkan meaning dengan realitas kekinian agar dapat dijadikan jawaban atas persoalan yang dihadapi. Inilah unsur kedua makna al-Qur’an yang menurut  pandangan  Abû Zaîd disebut al-Maghza. [11]

Tulisan ini saya copy dari landasan teori skripsi saya yang berjudul : “Menelisik Makna Doa Nabi Sulaiman As.” Bagi yang perlu atau ingin tahu refrensinya kirim pesan lewat email: hakimluki99@yahoo.com /lukman101213@gmail.com




                         [1] Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003 ), h. xvi. Menurut Syahrur, jika Islam sesuai untuk zaman dan waktu, maka kita harus mengasumsikan bahwa al-Qur’an turun untuk kita semua. Ia diperuntukkan untuk setiap generasi, baik itu generasi awal ataupun generasi setelah kita. Oleh karena itulah, maka pembacaan terhadap kitab suci harus disesuaikan dengan konteks dan tingkat pengetahuan setiap generasi tanpa melupakan bagaimana perkembangan historis penafsiran dari waktu ke waktu. Setiap produk tafsir mempunyai temporalitas sendiri-sendiri, sehingga kita harus menyorotnya dengan persepektif zaman. M. Syahrur, Dialektika Kosmos dan Manusia; Dasar-dasar Epistemologi Quran, h. 17-16. Menurut KH. Husein Muhammad komisioner Komnas Perempuan, menegaskan bahwa “ Agama Islam yang bersumber pada al-Qur’andan hadis hadir untuk manusia dan memanusiakan manusia.” Hasil wawancara pada tanggal 3-12-2014 pukul 20.00 di Sekretariat PERMADA (Persatuan Mahasiswa Alumni Dar al-Tauhid) Ciputat, Tangsel. Dalam bukunya juga  beliau menyatakan bahwa,  al-Qur’an sebagai sumber utama gerak dan dinamika Islam tidak seyogyanya diberi makna secara terbatas, setatis, dan kaku. Membatasi makna al-Qur’an hanya pada arti  literalnya saja, di samping membatasi kehendak Tuhan juga menciptakan keterasingan diri-Nya dari peroses sejarah manusia yang terus bergulir. Konsekuensi yang logis dari sifat keabadaian dan universalitas Islam (Islam rahnatan lil’âlamîn), adalah kemampuannya melahirkan petunjuk yang berguna bagi manusia dalam segala situasi dan segala zaman.’ Husein Muhammad, Kidung Cinta & Kearifan (Cirebon: Zawiya, 2014), h. 33.
[2] Nama lengkapnya adalah: Nasr Hamid Rizk Abû Zaîd, lahir pada 1 Juli 1943 di desa tanta ibu kota Propinsi al-Gharbiyâh Mesir. Nasr Hamid Abû Zaîd,..….h .10. Mu’tazilah adalah kelompok pertama yang merumuskan konsep tasybih (penyerupaan), tamtsil (perumpamaan), majaz (metafora), dan ta’wil (eksplanasi) yang merupakan konsep untuk memahami pesan Tuhan. Konsep tersebut mirip dengan konsep hermeneutika yang berusaha mencairkan kerumitan bahasa Tuhan sebagai bahasa langit kedalam bahasa manusia. Ibid, h. 16.
[3] Nasr Hamid Abû Zaîd, …… h .19.
[4] Abû Zaîd, ….. h. 92.
[5]  Uraian panjangnya lihat dalam: Abû Zaîd, h. 86-95.
[6]Sementara Mu’tazilah berpandangan bahwa Al-Qur’an bersifat hadits dan makhluk, karena ia tidak termasuk sifat-sifat dzat Tuhan yang azali, melainkan sifat-sifat tindakan Tuhan (sifat al-af’al al-Ilahiyyah). Mu’tazilah hanya mengakui sifat al-Ilm, Qudrah, Qadîm, dan  al-Hayû selain itu termasuk al-Quran dikategorikan sifat af’al (perbuatan). Abû Zaîd,….. h.16,245.
[7] Hasan Ahmad Said, Metodologi Penafsiran al-Qur’an Kontemporer; Telaah Atas Pemikiran Nasr Hamid Abû Zaîd, SUHUF:Jurnal Kajian al-Qur’an dan Kebudayaan (Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI., Vol. 4, No. 1, 2011), h.87-88. Menurut KH. Husein Muhammad,  Teks yang sakral adalah teks yang ada di langit yang ada di bumi hanyalah simbol-simbol, tanda, atau kode dari teks yang sakral, simbol-simbol itu di dalamnya terdapat ruh universal. Hasil wawancara pada tanggal 3-12-2014 pukul 20.00 di Sekretariat PERMADA  Ciputat, Tangsel.
[8] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 68. Sedangkan Hirsch menyebutnya meaning (makna/arti) dan significance (signifikansi), dan Gadamer mengistilahkan Sinn (arti) dan sinnesgemäß (makna arti yang mendalam) interperetasi ini dilakukan dengan cara memperhatikan konteks tekstual dengan analisa bahasa sebagai basisnya dan konteks sejarah sebagi instrumennya. Ibid, h .68. ia termasuk dalam aliran Hermeneutik tengah-tengah (antara oyektivis dan subyektivis). Aliran ini memberikan keseimbangan antara pencari makna asal teks dan peran pembaca dalam penafsiran. Ibid, h. 26-27.
[9] Abû Zaîd, …… h. 153. Menurut Abû Zaîd, penafsiran yang benar terhadap al-Qur’an adalah dengan cara mensituasikan di dalam sebuah konteks dominasi Quraniyah . karena Abû Zaîd percaya bahwa al-Qur’an itu dibentuk oleh situasi sosial, sebuah ruang kontestasi ideologis di mana subyek-subyeknya bebas (individu, grup, dan kelas), berebut satu sama lainnya untuk tujuan politik dan ekonomi. Nasr Hamid Abû Zaîd,…….. h. viii-ix.
[10] Teori E.D. Hirsch: makna teks tidak berubah, namun signifikansianya yang berubah bagi penulisnya. Perbedaan ini sangat sering diabaikan. Makna adalah yang direpresentasikan oleh sebuah teks; yaitu apa yang dimaksud oleh penulis dengan penggunaannya atas konsekuensi tanda partikular; yakni yang dipresentasikan oleh tanda-tanda. Sigifikansi, pada sisi lain menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang, atau sebuah persepsi, situasi, atau sesuatu yang dapat dibayangkan.  signifikansi selalu mengaplikasikan sebuah hubungan, satu kutub konstan yang tak berubah dari hubungan itulah apa yang dimaksud oleh teks. Moch. Nur Ichwan,…… h.88-89. Hirsch membuat pemilahan antara makna , meaning, dengan target akhir, signifikansi. Ia melihat bahwa magza/signifikansi dari teks sastra bisa berbeda, tetapi maknanya tetap. Abû Zaîd, ….. h. 61.
[11]Aksin wijaya, ….. h . 36-37. Signifikansi bertumpu pada sejumlah hubungan antara teks dengan pembaca, sedangkan makna berada dalam teks itu sendiri. Ketika kita menduga bahwa makna teks berubah dalam kaitannya dengan penulisnya, maka yang kita maksud adalah signifikansi lantaran asas bahwa penulis dalam kondisi ini beralih ke pembaca , dan karenanya berubalah hubungannya dengan teks. Abû Zaîd,…. h. 61. Menurut Charles Hirskin proyek Hermeneutika Inklusif Abû Zaîd bertujuan untuk 1. Menemukan makna asal dari sebuah teks, dengan menempatkan dari sebuah konteks sosio historisnya dan, 2. Untuk mengklasifikasikan kerangka sosio-kultural kontemporer dan tujuan praktis yang mendorong dan mengarahkan penafsiran. Abû Zaîd,….. h .x.

Komentar

Postingan Populer