Pesan al-Qur’an Kepada Mereka Yang Diberi Amanat
Oleh: Hani*, Lukman**,Leli***
Pendahuluan
Begitu terpilih menjadi ketua MPR-RI periode
2004-2009, DR. Hidayat Nur Wahid langsung membuat gebrakan. Alumnus Universitas
Islam Madinah ini menyatakan menolak menggunakan fasilitas negara berupa mobil
mewah merk volvo, dengan alasan penghematan penggunaan uang negara.[1] Langkah
ini semestinya diikuti oleh pejabat negara yang lain, mulai dari pimpinan DPR,
DPD, menteri, pejabak eselon 1 dan seterusnya.
Sikap bersahaja ini dapat ditangkap sebagai ajakan
moral untuk tidak menyalahgunakan fasilitas negara. Sebab pada dasarnya,
fasilitas negara merupakan amanat yang mesti dipergunakan sesuai porsi yang
wajar. Dalam kondisi bangsa yang belum pulih dari lilitan multi krisis ini,
rasanya kurang etis jika pejabat negara mulai dari tingkat pusat sampai tingkat
daerah menggunakan fasilitas negara super mewah. Kita yakin ajakan moral
seperti ini tidak dengan serta merta diikuti oleh lembaga-lembaga negara lain.
Namun, hal ini dapat ditangkap sebagai titik awal untuk menggugah moral pejabat
tinggi kita dalam menjalankan amanat kenegaraan.
Masih sering kita temui, penggunaan
kendaraan dinas operasional pelat merah berkeliaran di hari libur, di
tempat-tempat plesiran, atau digunakan oleh bukan pejabat yang mendapatkan
fasilitas kendaraan dinas operasional tersebut. Terkadang, beberapa terlihat
sedang di parkir di halaman losmen, tempat karaoke dan beberapa tempat lain
yang kurang “bermartabat”.Meskipun prosentasenya relatif kecil dan terlepas
dari apakah fasilitas negara tersebut sedang dimanfaatkan untuk urusan
kedinasan atau bukan, tentu ini bisa menjadi preseden buruk yang dapat
menjatuhkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas moral para penyelenggara
negara.
Contoh
real dari masih seringnya terjadi pelanggaran adalah kasus calon petahana Bibit Waluyo
ditengarai banyak menggunakan fasilitas yang dibiayai negara untuk kepentingan
dirinya. Data yang ditemukan LSM Masyarakat Hukum Responsif (Masif) Jateng,
Bibit terindikasi melakukan tiga pelanggaran. Pertama saat Bibit ketika
mengahadiri pementasan Wayang di IAIN Walisongo Semarang (7 April 2013).Kedua,
kunjungan kerja di Kabupaten Batang (8 April 2013), dan ketiga, pada saat Bibit
memberikan bimbingan teknis kepada tenaga kesejahteraansosial kecamatan (10
April2013).
''Jelas
ketiga temuan itu masuk dalam kategori pelanggran pemilu, karena menggunakan
fasilitas negara sebagai sarana untuk kampanye terselubung sebagai langkah
untuk mengajak orang-orang yang disekitar agar memilihnya,'' tegas Direktur
Masif, Lukman Hakim di Semarang, Rabu(17/4).
Siapapun
akan menilai positif bila suatu institusi mempunyai banyak fasilitas guna
mendukung lancar dan suksesnya program yang sudah ditetapkan. Bahkan akan membuat
program makin mudah dan cepat selesai.
Pada
dasarnya Islam mengakui adanya hak milik bagi siapapun, baik perorangan maupun
organisasi. Sedangkan segala fasilitas dan harta yang dimiliki oleh suatu
institusi atau organisasi adalah termasuk harta amanat (‘ain al-amānah). Karena itu para pelaksana institusi atau
organisasi baik yang dimiliki perorangan maupun perserikatan pada dasarnya
mereka menerima amanat, bukan kepemilikan. Amanat itu bisa terlaksana dengan
baik jika diserahkan pada orang yang mumpuni dibidangnya.[2]
Kendatipun al-Qur’an mengandung berbagai macam
masalah, ternyata pembicaraannya tentang suatu masalah tidak selalu tersusun
secara sistematis sehingga perlu menggunakan metode tematik tersebut.Salah satu
topik yang paling sering menjadi bahan pembicaraan dan termasuk permasalahan
yang sentral dalam al-Qur’an adalah amanat.Amanat merupakan aspek muamalah yang
sangat penting karena terkait dengan kewajiban.Dalam al-Qur’an dijelaskan
betapa beratnya sebuah amanat. Allah berfirman dalam surah
al-Ahzab/33: 72:
إِنَّا عَرَضْنَا
الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولا.
Allah
memberikan amanat kepada langit tapi langit tidak mampu mengembannya kemudian
diberikan kepada bumi dan gunung ternyata semuanya tidak mampu memikul amanat
tersebut.Namun, hanya manusia yang berani menerima amanat itu. Amanat
pada kenyataannya tidak semudah yang dipikirkan karena dengan adanya amanat
berarti ada pembebanan atau tuntutan bagi yang bersangkutan untuk
merealisasikan.Kajian dalam makalah ini berusaha mengungkapkan makna amanat dan
hal-hal yang terkait dengan amanat meliputi objek amanat, bentuk-bentuk serta
pandangan atau sikap al-Qur’an terhadap amanat.
Berbagai metode digunakan dalam mengungkap
makna dan maksud dari term-term amanat baik dalam bentuk fi’il atau isim.
Dari situlah akan muncul sebuah pemahaman yang komprehensif tentang amanat
ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga akan mengantarkan pada sikap
untuk menjaga dan menghargai semua amanat, karena dalam hadis disebutkan bahwa[3] لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه “Tidak
ada keimanan bagi orang yang tidak melaksanakan amanat”. Oleh karena itu,
mengkaji makna amanat dan aspeknya dalam al-Qur’an sangatlah penting. Selain
sebagai wawasan keagamaan juga sebagai bentuk pengembangan kajian akademis.
Berdasarkan
penjelasan pada latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apa sebenarnya pengertian amanat dalam
al-Qur’an?
2.
Apa saja yang menjadi objek amanat dalam
al-Qur’an?
3.
Dalam masalah apa saja amanat disebutkan dalam
al-Qur’an?
4.
Bagaimana
sikap al-Qur’an terhadap amanat?
Konsep-konsep Kunci Dalam
Amanat
A.
Definisi
Amanat
Amanat adalah bentuk term bahasa Arab di mana bentuk
aslinya adalah amana. Dalam term amana ini, memunculkan term iman dan amanat,
amin dan lain sebagainya. Dalam lisan arab disebutkan bahwa term amanat dan
aman satu arti, dimana amanat diartikan dengan lawan khianat (ḍidd al-khiyanah). Penamaan ini karena orang
memberi dan diberi amanat selamat dari yang menyakitkan. Amanat berkaitan
dengan ketaatan, titipan, kepercayaan, dan keamanan. Amanat juga bisa diartikan
dengan berkecukupan atau menyebabkan menjadi berkecukupan. Dalam kamus Hans
Wehr amanat diterjemahkan dengan realibity (dapat dipercaya), trusworthiness
(sifat dapat/layak dipercaya), fidelity (kesetiaan).[4] Ada juga
yang menyatakan bahwa amanat merupakan bentuk maṣdar dari amuna, yang mempunyai arti amin, dan juga untuk
ungkapan titipan itu sendiri. Jadi secara bahasa diketahui bahwa amanat adalah
sesuatu yang dapat dipercaya untuk dilakukan kepada orang, mempercayakan
sesuatu kepada orang lain.
Ibrahim dkk., mengatakan bahwa amanat dapat
diartikan sebagai penetapan janji dan titipan. Abu al-Baqa’ al-Kafumi
mengatakan bahwa amanat adalah segala kewajiban yang dibebankan kepada seorang
hamba, seperti shalat, zakat, puasa, bayar hutang dan segala kewajiban yang
lain.[5]Muhamamd
Rasyid Rida mengatakan bahwa amanat adalah kepercayaan yang diamanatkan kepada
orang lain sehingga muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali.[6] Fakhr al-Din al-Razi berpendapat bahwa amanat adalah ungkapan
tentang suatu hak yang wajib ditunaikan kepada orang lain.[7]
Abu Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa secara kasat
mata, amanat adalah segala bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang,
baik dalam bentuk perintah maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun
urusan ukhrawi. Sehingga semua syariat Allah adalah amanat.[8] Al-Qurtubi berpendapat
bahwa amanat adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia, baik
sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan
perbuatan maupun dengan perkataan di mana puncak amanat adalah penjagaan dan
pelaksanaannya.[9]
Dalam al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna
amanat atau kepercayaan berulang sebanyak 20 kali yang kesemuanya dalam bentuk
isim, kecuali satu lafaz dalam bentuk fi’il yaitu اؤتمن
dalam QS. al-Baqarah/2: 283. Namun untuk mengetahui subtansi amanat,
maka perlu dilihat dari tiga aspek yaitu: subjek, objek dan predikat atau
subtansi.Subtansi amanat adalah kepercayaan yang diberikan orang
lainterhadapnya sehingga menimbulkan ketenangan jiwa.Hal tersebut dapat terlihat
dalam QS.al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[10]
Jika dilihat dari sisi subjeknya (pemberi amanat), maka amanat bisa
datang dari Allah swt.sebagaimana yang dipaparkan dalam QS. al-Ahzab/33: 72:
إِنَّا عَرَضْنَا
الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولا.
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh”.[11]
Dan
kadang amanat tersebut datang dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang
tertera dalam QS.al-Baqarah/2: 283:
فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ.
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.[12]
Sedangkan jika dilihat dari objeknya (orang
yang melakasanakan amanat), maka amanat diberikan kepada malaikat, jin,
manusia, baik para nabi maupun bukan nabi sebagaimana penjelasan selanjutnya.
Berangkat dari ketiga unsur tersebut dan penafsiran para ulama tafsir, dapat
dipahami bahwa amanat adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau
makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanat yang meliputi
malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta.
Dengan
demikian, amanat yang datang dari Allah swt.terkait dengan segala bentuk
perintah dan larangan yang dibebankan kepada manusia.Sedangkan amanat dari
manusia terkait dengan segala bentuk kepercayaan, baik dalam bentuk harta
benda, jabatan dan rahasia.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa amanat
adalah amal saleh yang paling agung, namun sangat berat dilaksanakan, sehingga
wajar kemudian jika langit, bumi dan gunung enggan menerima amanat dari Allah
swt.[13]bahkan manusia yang berani
menerima amanat dan tidak mampu melaksanakannya dianggap sebagai zalum
jahul (penganiaya dan bodoh).
Oleh karena itu, amanat harus diberikan kepada
orang yang ahli dalam bidangnya agar tidak menimbulkan kekacauan yang
digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.[14]
إِذَا ضُيِّعَتِ
الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ
اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ.
“Jika amanat telah disia-siakan maka tunggulah kiamat,
sahabat bertanya, bagaimana penyia-nyian amanat wahai Rasulullah
saw.?Rasulullah menjawab, jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya”.
Lebih jauh dari itu, Nabi Muhammad saw. tidak
mau memberikan amanat kepada Abu Zarr al-Ghifari ketika meminta jabatan, bahkan
Nabi saw. mengatakan bahwa engkau terlalu lemah untuk posisi tersebut.[15]
عَنْ أَبِي ذَرِّ
قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ
عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا
أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ
أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).
“Dari Abu Zarr berkata, saya berkata kepada Rasulullah saw. wahai
Rasul, hendaklah engkau memberiku jabatan? Rasulullah saw. kemudian menepuk
punggungnya seraya berkata, wahai Abu Zarr, sesungguhnya engkau itu lemah dan
sungguh jabatan itu adalah amanat dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah
kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
Amanat
memiliki jenis yang beraneka ragam, meliputi segala kepercayaan kepada
seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan suatu perbuatan. Amanat bisa
bersifat material, seperti titipan barang atau uang untuk disampaikan kepada
yang dikehendaki si penitip. Atau jugayang bersifat inmaterial, seperti
kepercayaan rakyat atau anggota masyarakat kepada seseorang atau sekelompok
orang untuk melaksanakan kepemimpinan, menyampaikan pesan, atau nasehat,
melaksanakan dan menegakkan hukum.[16]
Ada
ungkapan menarik bahwa ‘kekuasaan itu amanat, karena itu harus dilaksanakan
dengan penuh amanat’. Ungkapan ini menyiratkan dua hal. Pertama, apabila
manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh
adalah sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah swt (delegation of
authority) karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian
kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanat dari Allah yang bersifat
relatif yang kelak harus dipertanggung jwabkan di hadapan-Nya.[17] Dalam
hal ini DR. Insinyur Muhammad Imaduddin Abdul Rahim M. Sc, mengatakan bahwa:
“demokrasi itu adalah amanat Tuhan. Kemerdekaan, kebebasan, dan tugas
kekhalifahan manusia juga adalah amanat. Semuanya harus ditunaikan
sebaik-baiknya sebagai perwujudan bagian dari iman.” Kedua, karena kekuasaan
itu pada dasarnya amanat, maka pelaksanaannyapun memerlukan amanat. Oleh
karenanya peran dan tanggung jawab manusia dalam hal ini adalah harus dilakukan
dengan sikap jujur dan memegang teguh prinsip kebenaran dan keadilan. Sehingga
dalam hal ini amanat berarti sebagai prinsip atau nilai.[18]
Para
sahabat Nabi seperti ibn Mas’ud (w. 32 H), ibn Abbas (w. 68 H) dan Ubay bin
Ka’ab (w. 29 H) R. A., menganggap amanat itu “menyangkut segala-galanya”
meskipun pengalamatannya kepada pemerintah jelas sekali karena kesimpulan itu
merupakan ijma’ (konsensus). Para ulama berijma’ demikian ibn Mundzir bahwa
segala jenis amanat haruslah ditunaikan kepada yang berhak. Bahkan, secara
individu baik dia orang baik-baik maupun pendosa (Qurthubi, V:256). [19]
B.
Objek Amanat
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa objek
atau orang yang diberi amanat dalam al-Qur’an mencakup beberapa jenis makhluk,
antara lain:
1.
Nabi
Dalam
al-Qur’an, makhluk yang paling sering disifati dengan amanat adalah para nabi
dan rasul, sehingga dalam kitab-kitab ilmu kalam, para nabi dan rasul memiliki
empat sifat yang wajib bagi mereka, sepertial-tablig/menyampaikan risalah kepada umatnya, al-fatanah /memiliki kecerdasan atau intelegensia yang tinggi, al-sidq /memiliki kejujuran dan al-amanat/dapat dipercaya atau memiliki
integritas yang tinggi.[20]Dengan
demikian, sering ditemukan dalam beberapa ayat, para rasul menyipati dirinya
sebagai al-amīn.
Nabi Nuh misalnya ketika mengajak kaumnya
untuk takut kepada siksaan Allah swt. atas kesyirikan yang mereka lakukan,
namun kaum Nuh itu tetap mendustakan dia dan rasul-rasul sebelumnya, sehingga
nabi Nuh mengatakan kepada kaumnya:
أَلا تَتَّقُونَ.
إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Mengapa kamu tidak bertakwa?.Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS.
al-Syu’ara’/26: 106-107).[21]
Nabi Nuh mengatakan hal tersebut di atas,
sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang mereka lakukan padahal sudah
dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal terpercaya dan tidak
pernah dicurigai oleh kaumnya.[22]
Senada dengan Nabi Nuh, Nabi Hud juga
mengajak kaumnya agar mengenal Allah swt. dan taat kepada-Nya dengan melakukan
hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan menjauhkan dari siksaan-Nya,
namun mereka tetap inkar dan mendustakan Nabi Hud dengan mengatakan seperti apa
yang dikatakan oleh Nabi Nuh.
أَلا تَتَّقُونَ.
إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Mengapa kamu tidak bertakwa?.Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS.
al-Syu’ara’/26: 124-125).[23]
Bahkan
pada ayat yang lain, Nabi Hud disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat
dipercaya, ketika kaumnya menolak ajakannya untuk menyembah Allah swt. dan
takut kepada-Nya, akan tetapi kaumnya kemudian mengejeknya dengan menuduhnya
sebagai orang bodoh dan pendusta, lalu Nabi Hud menyanggah ejekan itu dengan
mengatakan:
يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي
سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ
رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi
Aku Ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat
Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. al-A‘raf/7: 67-68).[24]
Menurut
al-Razi, maksud dari ungkapan nasih amin dalam ayat tersebut
sebagai:
1.
Sanggahan terhadap ungkapan kaumnya وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الكاذبين,
2.
Pokok pembicaraan tentang risalah dan tablig
adalah amanat, sehingga ungkapan tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan
kenabian,
3. penjelasan tentang
integritas Nabi Hud sebelum menjadi rasul sebagai seorang yang dikenal amanat
oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak seharusnya kaumnya
menganggapnya sebagai pembohong atau orang bodoh.[25]
Hal yang sama dilakukan oleh Nabi Salih, Nabi Luṭ dan Nabi Syu’aib dengan mengatakan seperti apa
yang dikatakan oleh Nabi Nuh dan Nabi Hud, yaitu:
أَلا تَتَّقُونَ.
إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Mengapa kamu tidak bertakwa?.Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.[26]
Di
samping nabi-nabi yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga disifati
sebagai al-amīn adalah Nabi Musa as., bahkan Nabi Musa
disebutkan dua kali sebagai al-amīn dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. al-Dukhan/44: 18:
وَلَقَدْ فَتَنَّا
قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ وَجَاءَهُمْ رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا إِلَيَّ
عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Sesungguhnya sebelum mereka Telah kami uji kaum Fir'aun dan Telah
datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia. (dengan berkata):
"Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak).
Sesungguhnya Aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu”.[27]
Kata rasul
al-amīn dalam ayat tersebut sebagai dasar ajakan
Nabi Musa terhadap kaumnya agar beribadah kepada Allah swt.pengakuan Nabi Musa
as. diperkuat oleh mukjizat yang dimilikinya.
Sedangkan al-amīn kedua yang diberikan kepada Nabi Musa terjadi bukan dalam
masalah risalah, akan tetapi tentang penilaian putri Nabi Syu’aib kepada Nabi
Musa as. dengan mengatakan:
قَالَتْ
إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الأمِينُ.
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:
"Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya” (QS. al-Qaṣaṣ/28: 26).[28]
Dalam
tafsir al-Ṭabari dijelaskan
bahwa penilaian salah satu putri Nabi Syu’aib terhadap Nabi Musa bahwa dia
sangat kuat dan dapat dipercaya karena apa yang dilihatnya pada saat Nabi Musa
memberi minum terhadap hewan ternak mereka, sedangkan penilaian amanat terjadi
karena keterjagaan pandangan Nabi Musa terhadap kedua putri Nabi Syu’aib dalam
perjalanan ke rumah mereka.[29]
2.
Malaikat
Di
antara makhluk yang menjadi objek amanat adalah malaikat. Malaikat terkadang
disifati sebagai al-amin oleh Allah swt., khususnya Jibril
pembawa wahyu kepada para nabi.
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ
رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ
الْمُنْذِرِينَ.
“Dan Sesungguhnya al-Quran Ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta Alam.Dia dibawa turun oleh al-Rūh al-Amīn (Jibril).Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan” (QS. al-Ṣu’ara’/26: 192-194).[30]
Menurut
Ibn ‘Aṣur, yang
dimaksud dengan al-rūh al-amīn dalam ayat tersebut adalah Jibril as.
Menurutnya, Jibril as. dinamakan al-rūh karena malaikat berasal dari alam ruhaniyah, sedangkan al-amīn diberikan sebagai kepercayaan Allah swt. terhadap Jibril
untuk menyampaikan wahyu-Nya.[31]
Lain
halnya dengan al-Ṣa’rawi,
menurutnya Jibril as. disebut al-rūh karena dengan ruh seseorang akan hidup dan para
malaikat itu hidup meskipun tidak memiliki jasad. Sedangkan al-amīn diberikan kepadanya karena dia terpelihara di sisi Allah
swt., terpelihara di sisi al-Qur’an dan terpelihara di sisi Nabi saw.[32]
Dengan demikian, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa yang
dimaksud al-rūh al-amīn dalam ayat tersebut adalah Jibril as.[33] karena
hal itu diperkuat oleh ayat lain dalam QS. al-Baqarah: 97 yang
menyebutkan nama Jibril as.
قُلْ مَنْ كَانَ
عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ...
“Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka
Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah”.[34]
Ayat lain yang menjelaskan tentang malaikat disifati dengan amanat
adalah QS. al-Takwir/81: 21-22:
مُطَاعٍ ثَمَّ
أَمِينٍ. وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ.
“Yang ditaati di sana (di
alam malaikat) lagi dipercaya.Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali
orang yang gila”. [35]
Ayat tersebut di atas dan ayat sebelumnya
menjelaskan beberapa sifat mulya malaikat Jibril as. di antaranya karim/mulya
karena diberikan tugas yang paling mulya yaitu menyampaikan wahyu kepada para
nabi, dhi quwwah/memiliki kekuatan dalam menjaga dan dijauhkan dari
kelupaan dan kesalahan, dhi al-‘arṣ makin/mempunyai posisi yang tinggi di sisi Allah
swt. karena dia diberi apa yang dimintanya, muta’in/yang ditaati di
alam malaikat karena pendapatnya menjadi rujukan para malaikat,amin/dipercaya
membawakan wahyu dan risalah Allah swt. terhadap para nabi-Nya.[36]
Dari kedua ayat tersebut, diketahui bahwa amanat
bukan saja diberikan kepada manusia, akan tetapi amanat juga dapat disematkan
kepada para malaikat, khususnya malaikat Jibril as. selaku penghubung Allah
swt. dengan para nabi-Nya.
3.
Jin
Jin
meskipun sering dikonotasikan sebagai makhluk durhaka, akan tetapi dalam
al-Qur’an sebagian jin ada yang beriman kepada Allah swt.[37] bahkan
‘Ifrit dari golongan jin yang hidup pada masa nabi Sulaiman berkenan membantu
nabi Sulaiman dengan berusaha memindahkan singgasana ratu Balqis, sebagaimana
dalam QS. al-Naml/27: 39:
قَالَ عِفْريتٌ
مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي
عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ.
T “Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan
datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari
tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk membawanya lagi dapat
dipercaya”.[38]
Ayat tersebut menegaskan tentang kemampuan
‘Ifrit memindahkan singgasana ratu Balqis pada saat itu dalam waktu
singkat.‘Ifrit juga menjamin bahwa dia dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas
tersebut.
Al-Mawardi
dalam tafsirnya menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan al-amīndalam ayat tersebut ada tiga pendapat, yaitu:
1)
Dia
dapat dipercaya menjaga permata dan berlian yang terdapat dalam istana
tersebut,
2) Dia dapat dipercaya mendatangkan istana
tersebut dan tidak menggantinya dengan istana lain,
3)
dia
dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu Balqis.[39]
Namun mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan al-amīndalam ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang
diberikan oleh ‘Ifrit untuk membawa istana seperti sedia kala tanpa ada
perubahan, pengurangan atau penambahan, khususnya yang terkait dengan isi
singgasana.
4.
Manusia
Dalam
al-Qur’an, manusia satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanat dari
Allah swt.pada saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan
kepadanya.
إِنَّا عَرَضْنَا
الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولًا.
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[40]
Al-Biqa’i ketika menafsirkan ayat di atas
mengatakan bahwa yang dimaksud al-insan adalah mayoritas
manusia, bukan setiap individu manusia.Oleh karena itu, manusia yang khianat
terhadap amanat jauh lebih banyak dari pada yang memegang amanat, karena nafsu
manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan keinginan.Oleh sebab itu,
Allah swt.menyifati manusia dengan ẓalūm jahūlagar manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak
dan ramah,al-‘iṣq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal fikiran
dan al-fahm/pemahaman sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.[41]
5.
Wilayah
Selain yang telah disebutkan di atas, masih
ada makhluk yang disifati dengan al-amīn,yaitu wilayah atau tempat tinggal sebagaimana yang
diberikan kepada Mekahal-Mukarramah.
وَهَذَا الْبَلَدِ
الْأَمِينِ.
“Dan demi kota (Mekah) Ini yang aman”.[42]
Al-Alūsi
mengatakan bahwa kata al-amīn dalam ayat di atas memiliki dua makna, yaitu
bermakan dipercaya atau bermakna keamanan. Menurutnya, al-amīn diberikan kepada Mekah
karena kota tersebut menjaga orang yang masuk ke dalam wilayahnya, bahkan
menjaga hewan atau tumbuhan yang ada di dalamnya, sebagaimana orang yang
dipercaya menjaga apa yang dipercayakan kepadanya.[43] Dengan demikian, Mekah disamakan dengan makhluk hidup karena
memiliki kesamaan yaitu penjagaan.
C.
Bentuk-bentuk Amanat
Sebagaimana definisi amanat yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa amanat adalah segala hal yang dipercayakan oleh
Allah atau sesama hamba untuk dijaga dan dilaksanakan, secara garis besar,
hal-hal yang menjadi penekanan amanat berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an antara
lain:
1.
Pekerjaan
Amanat merupakan pekerjaan yang amat berat,
bahkan langit, bumi dan gunung-gunung tidak mau menerima amanat
ketika ditawari, bukan karena ketidakloyalan mereka terhadap Allah swt., akan
tetapi ketidaksiapan mereka memikul beban amanat.
Amanat dalam bentuk pekerjaan meliputi
berbagai macam pekerjaan, baik amanat tersebut dari oleh Allah swt., seperti
tugas menyampaikan risalah yang dibebankan kepada malaikat Jibril as.
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya atau amanat sebagai penerima
risalah atau menjadi nabi dan rasul sebagaimana pembahasan ayat-ayat yang
terkait dengan amanat yang dimiliki para nabi.
Menurut al-Razi, amanat
secara umum dapat dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu:
a)
Amanat hamba terhadap Allah, yaitu apa yang
telah dijanjikan hamba untuk dijaga yakni segala bentuk perintah dan larangan
Allah swt. terhadap hambanya dan menggunakan anggota badan terhadap apa yang
bermanfaat baginya dan mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Segala bentuk
maksiat merupakan pengkhianatan terhadap amanat Allah swt., menurut Ibn ‘Umar
sebagaimana yang dikutip al-Razi, amanat terhadap Tuhan sangat luas cakupannya.
Setiap anggota tubuh merupakan amanat Tuhan. Lidah misalnya tidak bisa
digunakan untuk berdusta, gibah, adudomba, kekafiran, bid’ah dan fungsi-fungsi
lain yang tidak semestinya. Dengan demikian, anggota
badan jika digunakan bukan pada fungsinya maka termasuk pengkhianatan terhadap amanat.[44]
b) Amanat hamba terhadap hamba lain, yaitu menjaga
amanat terhadap makhluk lain, seperti pengembalian titipan, tidak melakukan
penipuan dalam bentuk apapun, menjaga rahasia dan segala bentuk kewajiban
individu, pemerintah, keluarga dan kerabat. Menurut al-Razi, termasuk dalam
bentuk amanat ini adalah keadilan pemerintah terhadap rakyatnya dan keadilan
ulama terhadap masyarakat dengan tidak menjadikan mereka orang yang fanatik
sesat.
c)
Amanat
hamba terhadap dirinya, yaitu memilih sesuatu yang bermanfaat dan yang paling
layak untuk dirinya dalam masalah agama dan dunia serta tidak melakukan sesuatu
karena dorongan syahwat dan amarah.[45]
Berbeda dengan al-Razi, Muhammad ‘Abduh
sebagaimana yang dikutip Rasyid Rida ketika menafsirkan ayat tentang amanat
mengatakan bahwa amanat dibagi dalam dua bagian, yaitu amanat ilmu pengetahuan
dan amanat harta benda.[46]
Pada ayat yang lain dijelaskan bahwa amanat
dalam bentuk pekerjaan tidak hanya diberikan oleh Allah swt., akan tetapi juga
bisa datang dari sesama makhluk dalam urusan duniawi dan tidak terkait dengan
harta benda, seperti permintaan saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka
agar dipercaya menjaganya dalam permainan.
قَالُوا يَا أَبَانَا
مَا لَكَ لا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ.
“Mereka berkata: "Wahai ayah kami, apa
sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya” (QS. Yusuf/12:
11).[47]
Senada
dengan ayat di atas bahwa amanat ada yang terkait dengan penjagaan semata dan
tidak terkait dengan harta benda adalah hadis Rasulullah saw. tentang menjaga
rahasia.[48]
إِذَا حُدِّثَ
الإِنْسَانُ حَدِيثًا وَالْمُحَدِّثُ يَتَلَفَّتُ حَوْلَهُ فَهُوَ أَمَانَةٌ.
“Jika seseorang diceritakan tentang sesuatu/rahasia dan orang yang
bercerita telah pergi darinya maka cerita itu menjadi amanat baginya”.
Sedangkan
pada yang ayat lain, Allah swt. menjelaskan tentang amanat dari sesama makhluk
dalam bentuk pekerjaan yang bersifat materi antara lain:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
“Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[49]
Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa
membayar hutang merupakan amanat, karena pada dasarnya hutang-piutang yang
terjadi seharusnya dikwitansikan agar ada bukti. Kalaupun tidak bisa
dikwitansiakn, maka seharusnya ada barang yang digadaikan sebagai bentuk
kominten membayar hutang.Dan kalau hal tersebut juga tidak ada, maka hutang
merupakan amanat yang harus ditunaikan.
2.
Hukum
Meskipun hukum bagian dari pekerjaan, akan
tetapi pemakalah cenderung
mengkhususkan pembahasannya, kaitannya dengan kekurangsadaran
manusia terhadap amanat dalam bidang hukum. Dalam al-Qur’an, ada dua ayat yang
mengarah pada amanat dalam masalah hukum.Salah satu di antaranya adalah QS.
al-Nisa’ ayat 58:
إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat”.[50]
Pada ayat tersebut di atas, bahwa dalam
membangun pemerintahan, prinsip yang dilakukana adalah amanat dan ‘adalah-Amanat merupakan
asas hukum Islam pertama sedangkan ‘adalah adalah asas kedua,
sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[51]
D.
Adil Sumpah
Serta Kaitannya Dengan Amanat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ
قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Maidah:8)
Keadilan (a’dl) menurut Islam
tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat Muslim yang sejati, sebagaimana di
masa lampau dan seharusnya di masa mendatang. Dalam Islam, antara keimanan dan
keadilan tidak terpisah. Orang yang imannya benar dan
berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini
tergambar dengan sangat jelas dalam surat di atas. Keadilan adalah perbuatan
yang paling takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.
Dalam al-Qur’an, keadilan dinyatakan dengan istilah “‘adl” dan “qist”.Pengertian
adil dalam Alquran sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi.Dalam
semangat moderasi dan toleransi, juga dinyatakan dengan istilah “wasath”
(pertengahan).“Wasath” adalah sikap berkeseimbangan antara dua
ektrimitas serta realitas dalam memahami tabiat manusia, baik dengan menolak
kemewahan maupun aksetisme yang berlebihan. Sikap seimbang langsung memancar
dari sikap tauhid atau keinsyafan mendalam akan hadirnya Tuhan Yang Maha Esa
dalam hidup, yang berarti kesadaran akan kesatuan tujuan dan makna hidup
seluruh alam ciptaan-Nya.[52]
Mendalamnya makna keadilan
berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat (amanat, titipan
suci dari tuhan) kepada manusia untuk sesamanya.Khususnya amanat yang berkenaan
dengan kekuasaan memerintah.Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan
demi ketertiban tatanan hidup kita.Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap
patuh dari banyak orang kepada penguasa.Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan.Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati
hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.
Ayat di atas juga mencerminkan
beberapa prinsip berikut;Pertama, berlaku amanat.Setiap orang mampu menjaga
kehidupan materinya dan bekerja untuk menghidupi keluarga.Seorang mukmin tidak
diperkenankan untuk berlaku curang, bohong dan khianat.Kedua, berlaku adil
dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan manusia.
Ibn Taimiyah dalam komentarnya mengenai
ayat di atas menyebutkan, “Wahai para pemimpin Muslim, Allah memerintahkan
kepada kalian untuk berlaku amanat dalam kepemimpinan kalian, tempatkanlah
sesuatu pada tempat dan tuannya, jangan pernah mengambil sesuatu kecuali Allah
mengizinkannya, jangan berbuat zalim, berlaku adil adalah keharusan dalam
menetapkan keputusan hukum di antara manusia. Semua ini adalah perintah Allah yang ditetapkan dalam Alquran dan
Sunnah.Jangan pernah melanggarnya, karena itu perbuatan dosa.”
Imam Qurṭubi menyampaikan, “Ayat di atas
berlaku umum untuk semua manusia yang menjadi pemimpin kalangan Islam.Keadilan
dalam distribusi pendapatan menghancurkan setiap gerakan kezaliman dalam
pemerintahan.Seorang pemimpin Muslim harus bisa berlaku amanat setiap menerima
titipan, menyampaikan kesaksian dan lain sebagainya.Perintah untuk berlaku adil
sama halnya dengan perintah shalat dan ibadah lainnya.”
E. Sikap al-Qur’an terhadap Amanat
Untuk
melihat seberapa penting amanat dalam kehidupan sehari-hari, maka penting
menjelaskan sikap al-Qur’an terhadap amanat. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan
ayat-ayat amanat dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
1.
Perintah Melaksanakan Amanat
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ
تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.(QS. Al-Nisa 58)
Kata-kata
amanat memiliki padanan kata atau harus disandingkan dengan kataتؤدّوا”tu'addū” (jama')-تؤدّى "tu'addī" (mufrod). tidak bisa disandingkan dengan kata lain
misalnyaتقيموا”tuqīmū” atauتقضى“taqdhī” atau sebagainya. Karenaتؤدّواberarti menunaikan, membayar. Jadi, dari penggunaan kata
tersebut dapat dimaknai bahwa amanat sama dengan janji yang harus dibayar dan
ditunaikan.[53]
Ayat ini meskipun menggunakan redaksi yang umum “kepada
kamu sekalian”, namun secara lebih khusus pembicaraan ayat ini ditujukan kepada
para pemimpin dan penguasa seperti yang dipahami oleh Muhammad bin Ka’ab dan
Zaid bin Aslam yang dinukil oleh Ibn Katsir.
Pemahaman
seperti ini sangat tepat, karena merekalah yang memiliki amanat yang besar
untuk ditunaikan sehingga mereka diminta untuk menjaga amanat dan pemerintahan
tersebut dengan benar dan adil. Jika amanat dan keadilan disia-siakan, maka
umat manusia akan binasa dan negeri ini akan hancur.
Dan dari Jabir ra.berkata,
tatkala Nabi saw. berada dalam suatu majelis sedang berbicara dengan sahabat,
maka datanglah orang Arab Badui dan berkata : Kapan terjadi Kiamat? » Rasulullah saw. terus
melanjutkan pembicaraannya. Sebagian sahabat berkata: »Rasulullah saw.
mendengar apa yang ditanyakan tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakannya«.
Berkata sebagian yang lain: »Rasul saw.tidak mendengar”. Setelah Rasulullah
saw. menyelesaikanperkataannya, beliau bertanya: “Mana yang bertanya tentang Kiamat ?” Berkata
orang Badui itu: “Saya
wahai Rasulullah saw.”.
Rasul saw. Berkata: “Jika
amanat disia-siakan, maka tunggulah Kiamat”. Bertanya: “Bagaimana menyia-nyiakannya?”. Rasul saw. Menjawab:
“Jika
urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat”[54]
Ḥadīth
ini sebuah peringatan dari Rasul saw. agaramanat itu diberikan kepada ahlinya.
Dan puncak amanat adalah amanat dalam kepemimpinan umat.Jika pemimpin umat
tidak amanat berarti kita tinggal menunggu kiamat atau kehancuran.
...إنّ
الله نعمّا يعظكم به...
“sesungguhnya Allah memberikan
pengajaran yang sebaik-baiknya...”
Melihat
ungkapan di atas dari sudut metode penyampaiannya, merupakan susunan kalimat
yang aslinyaإنّه نعمّا يعظكم الله به... tetapi diubah menjadi kalimat
dengan mendahulukan lafal jalalah (Allah), dan dijadikannya sebagai isim
inna, sedang perkataan نعم ماdan diubah menjadi نعمّاbeserta semua muta’alliqatnya itu berada dalam posisi
sebagai khabar inna sesudah membuang khabarnya. Hal ini untuk memberikan
kesan betapa eratnya hubungan antara Allah dan pengajaran-Nya yang diberikan
kepada mereka itu. Akan tetapi, sebenarnya hal itu bukanlah ‘izhah, pengajaran
atau nasehat. Melainkan amr; perintah. Hanya saja dalam kalimat ini ta’birnya
diungkapkan dengan ‘izhah; pengajaran atau nasehat, karena ‘izhah itu lebih
menimbul kesan di hati, lebih cepat masuk perasaan, lebih dekat untuk bisa
menunaikannya, yang didorong oleh perasaan suka rela, keinginan dan rasa malu.
Kemudian pada ujung ayat diakhirilah oleh kalimat yang
menghubungkan perintah itu dengan Allah, supaya berkesan menimbulkan rasa
muraqabah, takut dan berharap pada-Nya.
...إنّ
الله كان سميعا بصيرا
“... sesungguhnya Allah itu Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”
Keserasian
antara tugas-tugas yang diperintahkan yaitu menunaikan amanat-amanat dan
memutuskan hukum dengan adil di antara manusia dengan keberadaan Allah swt
sebagai dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat itu memiliki munasabah
(hubungan) yang jelas dan halus secara bersamaan. Maka dalam hal ini Allah
berarti senantiasa mendengar dan melihat terhadap masalah-masalah keadilan dan
akhlak. Keadilan ini juga memerlukan pemeliharaan semua hal yang bisa dilihat
dan didengar dan baiknya ketetapan, dan memperhatikan penjagaan memikirkan
secara mendalam apa-apa yang ada di balik fenomena-fenomena dzawahir
(lahiriyah), dan yang terakhir dari bahasan ini, sesungguhnya perintah terhadap
keduanya itu bersumber dari Allah dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat segala
persoalan.[55]
Allah swt
berfirman: (QS.
Al-Ahzab:
72)
إِنَّا
عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولا (٧٢)
Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu Amat zalim dan Amat bodoh.
Sayyid
Quṭb menjelaskan dalam ayat di atas bahwa
sesungguhnya langit, bumi dan gunung-gunung yang dipilih oleh al-Qur’an sebagai
bahan pembicaraannya adalah makhluk-makhluk yang besar yang agung, di mana
manusia tinggal di dalamnya atau disekitarnya. Sehingga bila dibandingkan
dengannya maka manusia akan tampak amat kecil.
Makhluk-makhluk yang besar dan
agung itu dapat mengenal penciptanya tanpa usaha apapun. Mereka itu selalu
bersikap tunduk secara langsung tanpa harus berfikir dan tanpa perantara
(otomatis) kepada sistem dan hukum yang ditetapkan Allah yang mengaturnya.
Mereka terus berjalan sesuai dengan aturan hukum itu, juga berputar pada
porosnya, dan berjalan mengelilingi jalurnya pada galaksi alam semesta, serta
terus melakukan tugasnya sesuai dengan tabiatnya dan hukumnya tanpa kesadaran
dan pilihannya.[56]
...وحملها الوحملها
الإنسان ...
“... dan dipikullah amanat itu oleh manusia...”
Manusia yang mengenal Allah dengan pengetahuan dan
perasaannya pasti tertuntun (mengikuti petunjuk) kepada hukum-Nya dengan pikiran
dan pandangannya. Manusia dapat beramal sesuai dengan hukum itu sebetulnya
karena atas usaha dan pengorbanannya menaati Allah dengan kehendaknya dan juga
atas kemauan dirinya sendiri melawan segala kecendrungan penyimpangan libidonya
(dorongan nafsu seksual atau birahi yang bersifat bawah sadar naluri) dan
menentang segala dorongan nafsu syahwat. Dalam setiap langkah-langkah itu ia
bisa sadar, memiliki kehendak untuk mengetahui dan memilih jalannya dan tahu
kemana jalan itu akan mengantarkannya.
Sesungguhnya amanat itu sangat besar namun manusia telah
menyatakan kesanggupan memikulnya. Padahal ia sangat kecil tubuhnya, sedikit
kekuatanya, lemah usahanya, terbatas umurnya, serta senantiasa diliputi dan
digelorakan oleh syahwat nafsu, libido, kecenderungan dan ketamakan.
Sesungguhnya langkah menyanggupi beban yang berat itu
merupakan bahaya yang sangat besar. Oleh karena itu manusia sangat zhalim
(tidak adil) kepada dirinya sendiri dan jahil (bodoh) terhadap kekuatanya. Hal
itu bila dibandingkan dengan berat dan besarnya beban yang harus ditanggung,
sehingga ketika ada manusia yang mampu melaksanakan beban itu, bisa mengetahui
pencipta-Nya, menjadi tertuntun langsung kapada hukum-Nya, tunduk secara
sempurna kepada kehendak Tuhanya dengan kesadaran dan kehendaknya sendiri, maka
ia berarti telah sampai kepada kedudukannya yang mulia dan kedudukanya yang
langka (utama) dihadapan Allah SWT.
Kehendak, pengetahuan, usaha, dan peleksanaan beban
amanat itulah yang membedakan manusia dari seluruh makhluk Allah yang lainnya.
Itulah sebab keistimewaan manusia dari makhluk Allah lainya uyang pernah
diumumkan ketika Allah memerintahkan seluruh malaikat untuk bersujud kapada
Adam. Dan Allah telah mengumumkan hal itu dalam al-Qur’an yang abadi.
ولقد كرمنا بني
أدم...
“Dan sesungguhnya
telah kamu muliakan anak-anak Adam...”
Jadi, hendaklah manusia
menyadari tanda kemuliaanya di sisi Allah. Hendaklah ia menunaikan amanat yang
telah dipilihnya sendiri dan telah ditawarkan pada langit, bumi, dan
gunung-gunung. Namun mereka banyak juga yang tidak mau menunaikanya.
Demikianlah konsekuensi yang harus dilakukanya.[57]
Ayat-ayat
di atas menunjukkan perintah Allah SWT, secara umum pada setiap Muslim untuk
menyampaikan amanat kepada yang berhak, yang mencakup semua hal yng
dipercayakan kepadanya baik yang berhubungan dengan hak dirinya, orang lain,
maupun tuhannya.
Islam merupakan agama yang mengatur antara makhluk
dengan pencipta-Nya dalam tataran ibadah baik sosial maupun individual. Dalam
bentuk lain, Islam juga sebagai kontrol yang mengembangkan sistem menejerial
yang tegas dan ketat. Maka dalam menyikapi sangsi bagi para koruptor (pengkhianat)
Islam tidak pandang
bulu, apakah dia pejabat ataukah lainnya.Seketika terdakwa sebagai koruptor
maka dia harus diadili.Adapun tujuan dari pemberian hukuman tersebut adalah
memberikan rasa jera supaya tidak mengulanginya lagi, dan menciptakan rasa
aman, damai dan rukun dalam masyarakat maupun Negara.
Karena
dengan terlaksananya amanat kepemimpinan dengan baik, maka akan terealisir
secara otomatis amanat-amanat yang lain, baik terkait dengan amanat kepada
Allah swt maupun amanat yang berhubungan dengan sesama hamba dan dengan diri
sendiri.
Perintah amanat
inilah yang berlaku universal kepada siapapun tanpa melihat sifat dan keadaan
orang tersebut.Maimun bin Mahran mengatakan, “Tiga hal yang harus ditunaikan,
baik kepada orang yang berbakti maupun kepada pelaku maksiat: amanat, janji dan
silaturahim”.
Amanat
kepemimpinan menjadi prioritas dari ayat di atas dilihat dari keterkaitan
antara kalimat dalam ayatnya dengan menggunakan wau athaf.Bahwa Allah swt
menyebutkan perintah “untuk menetapkan hukum diantara manusia dengan adil”
setelah perintah menunaikan amanat.Padahal memutuskan hukum diantara manusia
merupakan diantara tugas dan kewajiban seorang pemimpin.
لا
إِيْمانَ لِمَنْ لا أَمانَةَ لَهُ، ولا دِيْنَ لِمَنْ لا عَهْدَ لَهُ
“Tidak ada iman orang yang tidak
punya amanat, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya.” (HR. Ahmad no. 12787 dan sanadnya dinyatakan hasan oleh Al-Albani
dalam Al-Misykah: 1/17)
F.
Larangan Mengkhianati Amanat
Ø Qs. Al-Mu’miūn ayat 8
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ(٨)
Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Ø Q. S. Al-Ma’arij ayat 32:
وَالَّذِينَ
هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (٣٢)
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya.
Kata amānātihim adalah bentuk jamak dari amānah.[58]Ia adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk
dipelihara dan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya ia
dikembalikan oleh si penerima dengan baik serta lapang dada.[59] Kata amānah terambil dari kata amina/percaya dan aman. Ini karena
amanat disampaikan oleh pemiliknya atas dasar kepercayaannya kepada penerima
bahwa apa yang diserahkannya itu akan terpelihara dan aman di tangan penerima. Islam
mengajarkan bahwa amanat atau kepercayaan adalah asas keimanan, berdasar sabda
Nabi saw: “tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanat.”
Kata ‘ahd
antara lain berarti wasiat dan janji. Yang dimaksud adalah komitmen antara
dua orang atau lebih untuk sesuatu yang disepakati oleh pihak-pihak yang
berjanji. Misalnya berjanji untuk bertemu di tempat dan waktu tertentu. ‘ahd
atau janji semacam ini adalah salah atu yang paling banyak dilanggar oleh
umat manusia termasuk kaum Muslimin, padahal ia merupakan ciri orang beriman.
Bahkan menurut pandangan masyarakat modern ia adalah salahatu dari tiga sifat
yang harus dipenuhi seseorang yang ingin menyandang gelar ‘gentle man’. Dua
sifat lainnya adalah harga diri dan penghormatan kepada wanita.
Kata rā’ūn terambil dari kata ra’iya
yaitu memperhatikan sesuatu hingga tidak rusak, sia-sia atau terbengkalai, dengan
jalan memelihara, membimbing dan juga memperbaikinya bila terjadi kerusakan.
Dalam
salah satu sabda Nabi, sangat jelas menunjukkan pentingnya bagi seseorang untuk
memelihara amanat yang diberikan kepadanya:
عَنْ
أَبي هريرة، رَضِيَ اللهُ عَنْه، أن رسولَ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم
قَالَ :آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ،
وإِذَا آؤْتُمِنَ خَانَ.[60]
Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:Tanda orang munafik itu tiga macam yaitu jikalau berkata dusta,
jikalau berjanji menyalahi - tidak menepati - dan jikalau diamanati - dipercaya
untuk memegang sesuatu amanat - lalu berkhianat.[61]
Selain
kedua ayat di atas, perintah untuk memelihara amanat juga terdapat dalam surat
al-Anfal ayat 27:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالاتَخُونُوااللَّهَوَالرَّسُولَوَتَخُونُواأَمَانَاتِكُمْوَأَنْتُمْتَعْلَمُونَ
(٢٧)
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Kata taḳūnū diambil dari kataal-ḳaun yakni kekurangan, antonimya adalah al-wafā yang berarti
kesempurnaan. Selanjutnya kata khianat digunakan sebagai antonim dari amanat
karena jika seseorang mengkhianati pihak lain, dia telah mengurangi kewajiban
yang harus ia tunaikan. Kata amānat adalah bentuk jamak dari
kata amanat yang terambil dari
kata amina yang berarti merasa
aman dan percaya. Siapa yang dititipi amanat, berarti yang menitipkannya
percaya padanya dan meresa aman bahwa sesuatu yang dititipkan akan dipelihara
olehnya-secara aktifatau paling tidak secara pasif hingga nanti suatu saat
diminta kembali oleh yang menyerahkannya, ia akan mendapati titipannya tidak
hilang, tidak kurang, dan tidak rusak, tetap sebagaimana ketika diserahkan
sebagai pemeliharaan pasif, bahkan lebih baik dan berkembang sebagai
pemeliharaan aktif.
Segala sesuatu
yang ada dalam genggaman manusia adalah amanat Allah swt Agama adalah amanat
Allah, bumi dan segala isisnya adalah amanat Allah, keluarga dan anak-anak
adalah amanat Allah, bahkan jiwa dan raga manusia bersama potensi yang melekat
pada dirinya adalah amanat Allah swt semua harus dipelihara dan dikembangkan.
Amanat
manusia terhadap manusia menyangkut banyak hal, bukan hanya harta benda yang
dititipkan atau ikatan perjanjian yang disepakati, tetapi termasuk juga rahasia
yang dibisikkan. Pengulangan kata taḳūnū atau mengkhianati oleh Al-BiqaaI dipahami sebagai
isyarat bahwa khianat kepada Allah berbeda pada khianat selain-Nya. Khianat kepada Allah bersifat
ḥakiki karena segala sesuatu,
termasuk apa yang diamatkan oleh manusia kepada manusia lain, bersumber dari-Nya,
sedangkan khianat kepada selain-Nya bersifat majazi.
Demikian yang ditulis oleh Al-Baaqi.Karena itu pengulangan bertujuan
mengisyaratkan bahwa pengkhianatan amanat manusia tidak lebih kecil dosanya dan
tidak lebih kurang dampak buruknya daripada mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
ṬabaṭabāI memahami penggalan kalimat taḳūnū amānātikum atau mengkhianati amanat-amanat kamu sebagai satu
kesatuan yang berkaitan dengan khianat kepada Allah dan RasulNya. Ada amanat
Allah kepada manusia, seperti hukum-hukum yang disyariatkanNya agar
dilaksanakan.Ada amanat Rasul SAW kepada manusia, seperti keteladanan yang
beliau tampilkan, ada amanat antar sesama manusia, seperti penitipan harta
benda dan rahasia.Adalagi yang merupakan amanat bersama-Allah, Rasul, dan
orang-orang mukmin-yaitu persoalan-pesoalan yang dititipkan Allah dan dilakukan
Rasul SAW dan diraih manfaatnya oleh kaum mukminin.Amanat ini melahirkan
kemaslahatan masyarakat. Ini
anatar lain seperti rahasia militer atau politik yang bila dibocorkan dapat
merugikan kaum Muslimin juga melanggar hak Allah dan RasulNya.
Firman-Nya
wa antum ta’lamūn atau sedang kamu mengetahui dipahami oleh ṬabaṭabāI sebagai bertujuan untuk membangkitkan fitrah dan rasa
kepedulian yang muncul dari lubuk hati mitra bicara agar menghindari khianat
itu. Dan bukanlah syarat larangan berkhianat.
Ada yang
memahami penggalan ayat terakhir di atas sebagai bentuk toleransi melakukan
khianat dalam artian boleh berkhianat jika tidak sadar akibat buruknya dan
tidak boleh berkhianat jika sadar akan akibat buruknya. Lalu ada yang memahami
penggalan tersebut sebagai larangan dan seorang mukminmengetahui bahwa khianat
terhadap amanat adalah haram. Sedangkan asbab al-nuzul ayat diatas adalah sebagai
berikut:
Sebab turunnya suratal-Anfal ayat 27 dalam suatu
riwayat dimulai dengan penundukkan Bani Quraidzah oleh Rasulullah SAW beserta
bala tentara Islam. Rasul memerintahkan kepada Bani Quraidzah untuk taat
terhadap apapun keputusan atau ketetapan dari Saad bin Muadz dan mereka pun
menyutujuinya. Namun mereka memohon kepada Rasulullah SAW untuk mengutus Abu
Lubabah kepada mereka, kemudian beliau pun memenuhi permohonan mereka.Saat Abu
Lubabah telah hadir dihadapan mereka, terjadilah dialog antara mereka
dengannya.
“Wahai Abu Lubabah, haruskah kami mentaati
perintah dari Saad bin Muadz? Tanya Bani Quraidzah. Abu Lubabah menjawab, Demi
Allah jika kalian mematuhinya maka kalian seperti ini, kemudian dia menaruh
tangannya di lehernya seperti ingin memotongnya, yang berarti jika Bani
Quraidzah tetap mematuhi perintah Saad bin Muadz maka mereka seperti memotong
leher mereka sendiri atau bunuh diri.
Tiba-tiba
muncul rasa bersalah dari dalam hati Abu Lubabah karena telah berusaha membuat
Bani Quraidzah berkhianat terhadap janji mereka kepada Rasulullah untuk taat
terhadap Saad bin Muadz. Lalu Abu
Lubabah berlari menuju masjid Madinah dan mengikatkan dirinya di tiang masjid.
Dia bersumpah tidak akan membuka tali tersebut kecuali Rasulullah SAW sendiri
yang melepasnya. Semua orang berkerumun dan berusaha membujuk Abu Lubabah untuk
membuka ikatannya. Namun dengan lantang dan penuh penyesalan ia berkata, Demi
Allah, aku tidak akan membukanya hingga Rasulullah SAW yang membukanya dengan
tangan beliau sendiri!Rasulullah SAW yang mengetahui kejadian tersebut segera
bergegas menuju masjid Madinah.Saat tiba di masjid, beliau segera melepaskan
ikatan tersebut dan memberitahukannya bahwa Allah SWT telah mengampuni dosanya.
Abu Lubabah yang gembira atas kabar tersebut lalu berkata, Aku akan
menyedekahkan seluruh hartaku.
Kemudian Rasulullah SAW besabda, Sedekahkanlah sepertiganya saja. “
Kemudian Rasulullah SAW besabda, Sedekahkanlah sepertiganya saja. “
Ayat diatas berisi tentang pentingnya menjaga
amanat/janji dan larangan untuk khianat. Secara bahasa amanat bermakna al-wafa
(memenuhi atau menyampaikan) dan wadiah (titipan) sedangkan secara definisi
amanat berarti memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Sedangkan khianat
artinya mengingkari tanggung jawab, berbuat tidak setia, atau melanggar janji
yang telah dia buat. Secara luas khianat berarti mengingkari tanggung jawab
yang telah dipercayakan terhadap dirinya, baik datangnya dari orang lain maupun
dari Allah SWT.
Amanat atau janji dan khianat adalah kata-kata
yang saling berlawanan makna dan saling berkaitan.Dengan tegas
Allah melarang orang-orang yang beriman untuk khianat terhadap amanat dari
Allah dan Rasulullah,yang berarti larangan untuk lalai terhadap segala perintah
dan kewajiban sebagai seorang Muslim, seperti sholat yang
merupakan amanat dari-Nya untuk dijalankan sesuai syariat. Amanat dari sesama manusia seperti amanat jabatan
seorang anggota legislatif, rakyat telah memberinya kepercayaan dan amanat
untuk memperjuangkan nasib rakyat di pemerintahan, dan ini merupakan sebuah
keniscayaan untuk ditunaikan. Dan Allah dengan tegas melarang untuk berkhianat,
larangan dalam al-Qur’an memiliki arti kewajiban untuk dihindari dan haram
hukumnya apabila tetap dilaksanakan, seperti korupsi yang terjadi di jajaran
anggota legislatif, berarti mereka telah ingkar atas amanat yang mereka emban dari
rakyat dan ini merupakan hal yang dilaknat Allah SWT.
Amanat
adalah kepercayaan dari yang memberi kepada yang diberi atau dititipi, bahwa
sesuatu yang dititipkan harus dipelihara sebagaimana mestinya, dan pada saatnya
mengembalikan pada pemberi atau peminjam ia akan menerimanya dalam keadaan
utuh. Dan
pemberi tidak akan meminta melebihi apa yang sudah disepakati oleh kedua pihak.
Karena itu lanjutan ayat ini mengingatkan agar, yang menerima dan yang memberi,
bertakwa pada Allah Tuhan pemeliharanya.[62]
Al-Quran memuji orang-orang
yang beriman yang jujur dan menunaikan janji mereka tanpa ragu-ragu[63]: Sebagaimana
firman Allah
SWT:
di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu[64]dan
mereka tidak merubah (janjinya).
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Amanat adalah kepercayaan yang diberikan oleh
Allah swt. atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanat,
baik dari kalangan malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta. Namun karena amanat sangat berat dilaksanakan dan dijaga sehingga
harus diberikan kepada orang yang profesional di bidang tersebut.
Amanat dilihat dari segi objek yang
mendapatkan amanat, dapat diklasifikasi dalam beberapa bagian, yaitu amanat
bagi para nabi dan hal tersebut yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an
karena amanat merupakan sifat wajib bagi para rasul, amanat bagi malaikat,
khususnya pembawa wahyu yaitu Jibril as., amanat bagi jin yang hidup pada masa
Nabi Sulaiman, amanat bagi manusia secara umum dalam melaksanakan hal-hal yang
terkait dengan kewajiban kepada Allah swt., sesama manusia dan kepada dirinya
sendiri, bahkan ada amanat yang diberikan kepada wilayah/kampung yaitu kota
Mekah.
Amanat juga dapat dikelompokkan dalam dua
bagian, yaitu amanat dalam bentuk pekerjaan yang mencakup semua bentuk
pekerjaan yang dipercayakan kepada seseorang, baik dari Allah swt. maupun dari
sesama manusia. Dan amanat dalam bentuk hukum yang sebenarnya
juga merupakan pekerjaan, akan tetapi khusus disebutkan karena menjadi asas
pemerintahan yang Islami.
Sikap
al-Qur’an terhadap amanat terlihat dari perintah Allah swt.kepada manusia untuk
menunaikan amanat tersebut. Perintah tersebut menggunakan fi’il amr,
fi’il mudari’ dan isim yang menunjukkan betapa amanat
tersebut harus dijaga dan dilaksanakan, bahkan al-Qur’an tidak cukup sekedar
memerintahkan akan tetapi juga melarang khianat terhadap amanat, bahkan khianat
terhadap amanat sejajar dengan khianat terhadap Allah dan rasul-Nya.
B.
Saran
Dalam makalah ini, kami amat menyadari
banyaknya kekurangan yang terdapat di dalamnya. Di antaranya kami masih
memiliki titik kelemahan pada penetapan setiap sub judul di dalam setiap
pembahasan kami. Sumber yang kami gunakanpun belum terlalu memadai untuk bisa
dijadikan referensi secara tepat. Di dalam makalah ini juga belum terdapat
kaitan antara amanat, sumpah, dan janji yang sesuai dengan permintaan
bapak dosen.
Maka dari itu, dengan sangat kerendahan hati,
kami sebagai pemakalah sangat mengharapkan bagi para pembaca agar bisa
memberikan input saran dan kritik yang akan sangat membangun kami dalam
merampungkan sebuah tulisan dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Baqi, Muhammad Fu’ad, al-Mu’jam al-Mufahras li
alfadz al-Qur’an, Surabaya: Maktabah Dahlan, tt,
Asa,
Syu’bah, Dalam Cahaya al-Qur’an Tafsir
ayat-ayat Politik, Jakarta, Pustaka Utama : 2000
Gulen, M. Fethullah, Versi Terdalam:
Kehidupan Rasulallah Muhammad SAW, Jakarta, Raja Grafindo Persada:2002
Mulyadi, Konsep Amanat
dalam al-Qur’an (Skripsi kajian Q. S. Al-Ahzab 72 dan Annisa 58 dalam tafsir Fi
Dzilal al-Qur’an) (Jakarta, FSH: 2005)
Al-Munawar, Said
Agil, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat
press, 2002), cet. I
Praja Johaya S., Tafsir Hikmah: Seputar Ibadah, Muamalah,
Jin dan Manusia,(Bandung: Rosda Karya, 2000) cetakan I
Quṭb, Sayyid, Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Syrūq), Jilid 5
Rasjid, Sulaiman, Al-Fiqh al- Islam,
Bandung, Sinar Baru Algesindo:1994
Ridlo, Rofiqur,
Manusia dan Konsep Amanat Menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar, 2006
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah,
Volume 1 ,Jakarta, Lentera Hati:2002
Yasid, Abu, Fiqih
Realitas (Respon Ma’had Ali Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005
‘Asyur, Muhammad Tahir ibn. al-Tahrir
wa al-Tanwir. Tunis: al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984 M.
Al-Andalusi, Abu Hayyan Muhammad ibn
Yusuf. al-Bahr al-Muhit. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn
Isma’il. Sahih al-Bukhari. Cet. III; Beirut: Dar Ibn Kasir,
1407 H./1987 M.
Al-Dimasyqi, Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kasir.Tafsir
al-Qur’an al-‘Azim. Cet. I; al-Qahirah: al-Faruq al-Khadasiyah li
al-Tiba’ah, 1421 H./2000 M.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali ibn
Muhammad. al-Nukat wa al-‘Uyun. CD-ROM al-Maktabah
al-Syamilah.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir
al-Maragi. Cet. I; Mesir: Mustafa al-Babi al-Halibi wa Auladih, 1365
H./1946 M.
Al-Qurṭubi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Syams al-Din. al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an. Cet. II; al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyyah,
1384 H./1964 M.
Al-Razi, Muhammad Fakhr al-Din. Mafatih
al-Gaib. Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H./1981 M.
Al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir.Jami’
al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an.Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1420
H./2000 M.
Al-Wahidi, Abu al-Husain ‘Ali ibn Ahmad.Asbab
al-Nuzul. Cet. II; al-Mamlakah al-Sa’udiyah: Dar al-Islah, 1412
H./1992 M.
Al-Zuhaili, Wahbah ibn Mustafa. al-Tafsir
al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Cet. II; Damsyiq:
Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1418 H.
_________________, al-Tafsiral-Wasit. Cet.
I; Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422 H.
Hanbal, Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad
ibn. Musnad Ahmad ibn Hanbal. Cet. I; Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1419 H./1998 M.
Muslim, Mustafa. Mabahis fi al-Tafsir
al-Maudu’i. Dimasyq: Dar al-Qalam,1410 H./1989 M.
Rida, Muhammad Rasyid ibn ‘Ali. Tafsir
al-Manar. Mesir: al-Haiah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990 M.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya.al-Madinah al-Munawwarah:
Majma’ al-Malik Fahd, 1418 H.
Zakariya, Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin.Mu’jam
Maqayis al-Lugah. Beirut: Dar al-Fikr, t.th
***
Nur Laely,lely.nuril@yahoo..com
[1]Abu Yasid, Fiqih
Realitas (respon ma’had ali terhadap wacana hukum Islam kontemporer), (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), h. 10
[2]Abu
Yasid, Fiqih Realitas (respon ma’had ali terhadap wacana hukum Islam
kontemporer), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 10
[3]. Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal,
Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz. III (Cet. I; Beirut: ‘Alam al-Kutub,
1419 H./1998 M.), h. 135.
[4]Rofiqur
Ridlo, Manusia dan Konsep Amanat Menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar,
2006, h. 67
[5]. Abu al-Baqa’ Ayyub ibn Musa al-Husaini al-Kafumi, Mu’jam
fi al-Mustalahat wa al-Furuq al-Lugawiyah (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1419 H./1998 M.), h. 269.
[6]. Muhammad
Rasyid ibn ‘Ali Rida, Tafsir al-Manar, Juz.V (Mesir: al-Haiah
al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990 M.), h. 140.
[7]. Muhammad
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Gaib,Juz. X (Cet. I; Beirut: Dar
al-Fikr, 1401 H./1981 M.), h. 145
[8]. Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr
al-Muhit, Juz. VII (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1413 H./1993 M.), h. 243.
[9]Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Syams al-Din
al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz. XII
(Cet. II; al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1384 H./1964 M.), h. 107.
[10].Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
al-Qur’an,al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madīnah al-Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd, 1418
H.), h. 71.
[11]. Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,al-Qur’an dan
Terjemahnya (al-Madīnah al-Munawwarah: Majma’
al-Malik Fahd, 1418 H.), h. 680.
[12]. Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,al-Qur’an dan
Terjemahnya (al-Madīnah al-Munawwarah: Majma’
al-Malik Fahd, 1418 H.), h. 71.
[14]. Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih
al-Bukhari, Juz. V (Cet. III; Beirut: Dar Ibn
Kasir, 1407 H./1987 M.), h. 2383.
[15]. Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. III
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, t.th.), h. 1457.
[16]Johaya S.
Praja, tafsir hikmah: seputar ibadah, muamalah, jin dan manusia,(Bandung:
Rosda Karya, 2000) cetakan I, h. 143
[17]Said Agil
al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat press, 2002), cet. I, h. 200
[18]Mulyadi, Konsep
Amanat dalam al-Qur’an (kajian Q. S. Al-Ahzab 72 dan Annisa 58 dalam tafsir Fi
Dzilal al-Qur’an) (Jakarta: 2005), h. 5
[19]Syu’bah Asa, Dalam
Cahaya al-Qur’an Tafsir ayat-ayat Politik,(Jakarta: Pustaka Utama 2000), h.
58
[20]. Dalam kitab-kitab tauhid dijelaskan bahwa sifat yang
wajib kepada para rasul ada 4, begitu juga sifat yang mustahil kepada mereka,
sedangkan sifat yang boleh bagi para rasul ada satu sehingga jumlah sifat para
rasul ada 9.
[22]. Muhammad
Tahir ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir,Juz. XIX (Tunis: al-Dar
al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984 M.), h. 158
[29]. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’
al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz. XIX (Cet. I; Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1420 H./2000 M.), h. 561.
[32]. Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir
al-Sya’rawi, Juz. XVII (al-Azhar: Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1991
M.), h. 414
[33]. Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kasir al-Dimasyqi, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azim, Juz. X (Cet.
I; al-Qahirah: al-Faruq al-Khadasiyah li al-Tiba’ah, 1421 H./2000 M.), h. 370
[36]. Ahmad
Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Juz. XXX (Cet. I; Mesir:
Mustafa al-Babi al-Halibi wa Auladih, 1365 H./1946 M.), h. 59
[37]. Hal tersebut terlihat jelas ketika sekelompok
jin mendengar bacaan al-Qur’an dengan seksama, kemudian pulang menasehati
pengikutnya. Lihat: QS. al-Ahqaf: 29.
[39]. Abu
al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz.III
(CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah), h. 247.
[41]. Abu al-Hasan Burhan al-Din Ibrahim ibn ‘Umar
al-Biqa’i, Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar,Juz. XV
(al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Islami, t.th.), h. 425.
[43]. Abu al-Fadl Syihab al-Din Mahmud al-Alusi, Ruh
al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim wa al-Sab’ al-Masani, Juz. XXX
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-Arabi, t.th.), h. 173.
[51]. Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir
fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz. V (Cet. II; Damsyiq: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1418 H.), h. 120.
[52]A. Syafii Maarif, “al-Quran Berbicara tentang Keadilan dan Amanat” dalam Bulletin al-Quran no. 133,
23-June-2006, h. 17.
[53]Diakses pada
03-Mei-2013 pukul 20.30 http://www.facebook.com/zaky.barok/posts/518303311538534?comment_id=5385224&offset=0&total_comments=7¬if_t=feed_comment
[58] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbāh (pesan, kesan dan
keserasian al-Qur’an), (Jakarta: Lentera Hati,
2002), h. 159
[59] Ini termasuk
juga amanat untuk menjaga dan merawat fasilitas negara dengan baik, dan apabila
saatnya untuk dikembalikan, maka harus dikembalikan sesuai dengan kondisi saat
pertama diberikan kepada kita
[60]Hadis sahih,
diriwayatkan oleh al-Bukhari, hadis no. 32, 2485, 2544 dan 5630; Muslim, hadis
no. 89 dan 90; al-Tirmizi, hadis no. 2555; al-Nasa’i, hadis no. 4935; Ahmad,
hadis no. 8331, 8793 dan 10504.
[61](Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat lain disebutkan-dengan tambahan: Sekalipun ia berpuasa,
bersembahyang dan menyangka bahwa ia seorang Muslim."
[62]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,
Volume 1 (Jakarta, Lentera Hati:2002), h.610
[63] M. Fethullah Gulen, Versi Terdalam:
Kehidupan Rasulallah Muhammad SAW, (Jakarta, Raja Grafindo Persada:2002),
h.36
[64]Maksudnya menunggu apa
yang telah Allah janjikan kepadanya.
Komentar
Posting Komentar