Pesan al-Qur’an Kepada Mereka Yang Diberi Amanat




Oleh: Hani*, Lukman**,Leli***

Pendahuluan
                Begitu terpilih menjadi ketua MPR-RI periode 2004-2009, DR. Hidayat Nur Wahid langsung membuat gebrakan. Alumnus Universitas Islam Madinah ini menyatakan menolak menggunakan fasilitas negara berupa mobil mewah merk volvo, dengan alasan penghematan penggunaan uang negara.[1] Langkah ini semestinya diikuti oleh pejabat negara yang lain, mulai dari pimpinan DPR, DPD, menteri, pejabak eselon 1 dan seterusnya.
                Sikap bersahaja ini dapat ditangkap sebagai ajakan moral untuk tidak menyalahgunakan fasilitas negara. Sebab pada dasarnya, fasilitas negara merupakan amanat yang mesti dipergunakan sesuai porsi yang wajar. Dalam kondisi bangsa yang belum pulih dari lilitan multi krisis ini, rasanya kurang etis jika pejabat negara mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah menggunakan fasilitas negara super mewah. Kita yakin ajakan moral seperti ini tidak dengan serta merta diikuti oleh lembaga-lembaga negara lain. Namun, hal ini dapat ditangkap sebagai titik awal untuk menggugah moral pejabat tinggi kita dalam menjalankan amanat kenegaraan.
Masih sering kita temui, penggunaan kendaraan dinas operasional pelat merah berkeliaran di hari libur, di tempat-tempat plesiran, atau digunakan oleh bukan pejabat yang mendapatkan fasilitas kendaraan dinas operasional tersebut. Terkadang, beberapa terlihat sedang di parkir di halaman losmen, tempat karaoke dan beberapa tempat lain yang kurang “bermartabat”.Meskipun prosentasenya relatif kecil dan terlepas dari apakah fasilitas negara tersebut sedang dimanfaatkan untuk urusan kedinasan atau bukan, tentu ini bisa menjadi preseden buruk yang dapat menjatuhkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas moral para penyelenggara negara.
Contoh real dari masih seringnya terjadi pelanggaran adalah kasus calon petahana Bibit Waluyo ditengarai banyak menggunakan fasilitas yang dibiayai negara untuk kepentingan dirinya. Data yang ditemukan LSM Masyarakat Hukum Responsif (Masif) Jateng, Bibit terindikasi melakukan tiga pelanggaran.  Pertama saat Bibit ketika mengahadiri pementasan Wayang di IAIN Walisongo Semarang (7 April 2013).Kedua, kunjungan kerja di Kabupaten Batang (8 April 2013), dan ketiga, pada saat Bibit memberikan bimbingan teknis kepada tenaga kesejahteraansosial kecamatan (10 April2013).
''Jelas ketiga temuan itu masuk dalam kategori pelanggran pemilu, karena menggunakan fasilitas negara sebagai sarana untuk kampanye terselubung sebagai langkah untuk mengajak orang-orang yang disekitar agar memilihnya,'' tegas Direktur Masif, Lukman Hakim di Semarang, Rabu(17/4).
Siapapun akan menilai positif bila suatu institusi mempunyai banyak fasilitas guna mendukung lancar dan suksesnya program yang sudah ditetapkan. Bahkan akan membuat program makin mudah dan cepat selesai.
Pada dasarnya Islam mengakui adanya hak milik bagi siapapun, baik perorangan maupun organisasi. Sedangkan segala fasilitas dan harta yang dimiliki oleh suatu institusi atau organisasi adalah termasuk harta amanat (‘ain al-amānah). Karena itu para pelaksana institusi atau organisasi baik yang dimiliki perorangan maupun perserikatan pada dasarnya mereka menerima amanat, bukan kepemilikan. Amanat itu bisa terlaksana dengan baik jika diserahkan pada orang yang mumpuni dibidangnya.[2]
Kendatipun al-Qur’an mengandung berbagai macam masalah, ternyata pembicaraannya tentang suatu masalah tidak selalu tersusun secara sistematis sehingga perlu menggunakan metode tematik tersebut.Salah satu topik yang paling sering menjadi bahan pembicaraan dan termasuk permasalahan yang sentral dalam al-Qur’an adalah amanat.Amanat merupakan aspek muamalah yang sangat penting karena terkait dengan kewajiban.Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa beratnya sebuah amanat. Allah berfirman dalam surah al-Ahzab/33: 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Allah memberikan amanat kepada langit tapi langit tidak mampu mengembannya kemudian diberikan kepada bumi dan gunung ternyata semuanya tidak mampu memikul amanat tersebut.Namun, hanya manusia yang berani menerima amanat itu.  Amanat pada kenyataannya tidak semudah yang dipikirkan karena dengan adanya amanat berarti ada pembebanan atau tuntutan bagi yang bersangkutan untuk merealisasikan.Kajian dalam makalah ini berusaha mengungkapkan makna amanat dan hal-hal yang terkait dengan amanat meliputi objek amanat, bentuk-bentuk serta pandangan atau sikap al-Qur’an terhadap amanat.
Berbagai metode digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari term-term amanat baik dalam bentuk fi’il atau isim. Dari situlah akan muncul sebuah pemahaman yang komprehensif tentang amanat ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan menghargai semua amanat, karena dalam hadis disebutkan bahwa[3]  لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه “Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melaksanakan amanat”. Oleh karena itu, mengkaji makna amanat dan aspeknya dalam al-Qur’an sangatlah penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga sebagai bentuk pengembangan kajian akademis.
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.          Apa sebenarnya pengertian amanat dalam al-Qur’an?
2.         Apa saja yang menjadi objek amanat dalam al-Qur’an?
3.         Dalam masalah apa saja amanat disebutkan dalam al-Qur’an?
4.        Bagaimana sikap al-Qur’an terhadap amanat?

Konsep-konsep Kunci Dalam Amanat
A.     Definisi Amanat
Amanat adalah bentuk term bahasa Arab di mana bentuk aslinya adalah amana. Dalam term amana ini, memunculkan term iman dan amanat, amin dan lain sebagainya. Dalam lisan arab disebutkan bahwa term amanat dan aman satu arti, dimana amanat diartikan dengan lawan khianat (idd al-khiyanah). Penamaan ini karena orang memberi dan diberi amanat selamat dari yang menyakitkan. Amanat berkaitan dengan ketaatan, titipan, kepercayaan, dan keamanan. Amanat juga bisa diartikan dengan berkecukupan atau menyebabkan menjadi berkecukupan. Dalam kamus Hans Wehr amanat diterjemahkan dengan realibity (dapat dipercaya), trusworthiness (sifat dapat/layak dipercaya), fidelity (kesetiaan).[4] Ada juga yang menyatakan bahwa amanat merupakan bentuk madar dari amuna, yang mempunyai arti amin, dan juga untuk ungkapan titipan itu sendiri. Jadi secara bahasa diketahui bahwa amanat adalah sesuatu yang dapat dipercaya untuk dilakukan kepada orang, mempercayakan sesuatu kepada orang lain.
Ibrahim dkk., mengatakan bahwa amanat dapat diartikan sebagai penetapan janji dan titipan. Abu al-Baqa’ al-Kafumi mengatakan bahwa amanat adalah segala kewajiban yang dibebankan kepada seorang hamba, seperti shalat, zakat, puasa, bayar hutang dan segala kewajiban yang lain.[5]Muhamamd Rasyid Rida mengatakan bahwa amanat adalah kepercayaan yang diamanatkan kepada orang lain sehingga muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali.[6] Fakhr al-Din al-Razi berpendapat bahwa amanat adalah ungkapan tentang suatu hak yang wajib ditunaikan kepada orang lain.[7]
Abu Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa secara kasat mata, amanat adalah segala bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga semua syariat Allah adalah amanat.[8] Al-Qurtubi berpendapat bahwa amanat adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia, baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan perbuatan maupun dengan perkataan di mana puncak amanat adalah penjagaan dan pelaksanaannya.[9] 
Dalam al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna amanat atau kepercayaan berulang sebanyak 20 kali yang kesemuanya dalam bentuk isim, kecuali satu lafaz dalam bentuk fi’il yaitu اؤتمن dalam QS. al-Baqarah/2: 283. Namun untuk mengetahui subtansi amanat, maka perlu dilihat dari tiga aspek yaitu: subjek, objek dan predikat atau subtansi.Subtansi amanat adalah kepercayaan yang diberikan orang lainterhadapnya sehingga menimbulkan ketenangan jiwa.Hal tersebut dapat terlihat dalam QS.al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
                “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[10]
Jika dilihat dari sisi subjeknya (pemberi amanat), maka amanat bisa datang dari Allah swt.sebagaimana yang dipaparkan dalam QS. al-Ahzab/33: 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[11]
Dan kadang amanat tersebut datang dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang tertera dalam QS.al-Baqarah/2: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ.
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.[12]
Sedangkan jika dilihat dari objeknya (orang yang melakasanakan amanat), maka amanat diberikan kepada malaikat, jin, manusia, baik para nabi maupun bukan nabi sebagaimana penjelasan selanjutnya. Berangkat dari ketiga unsur tersebut dan penafsiran para ulama tafsir, dapat dipahami bahwa amanat adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanat yang meliputi malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta.
Dengan demikian, amanat yang datang dari Allah swt.terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan yang dibebankan kepada manusia.Sedangkan amanat dari manusia terkait dengan segala bentuk kepercayaan, baik dalam bentuk harta benda, jabatan dan rahasia.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa amanat adalah amal saleh yang paling agung, namun sangat berat dilaksanakan, sehingga wajar kemudian jika langit, bumi dan gunung enggan menerima amanat dari Allah swt.[13]bahkan manusia yang berani menerima amanat dan tidak mampu melaksanakannya dianggap sebagai zalum jahul (penganiaya dan bodoh).
Oleh karena itu, amanat harus diberikan kepada orang yang ahli dalam bidangnya agar tidak menimbulkan kekacauan yang digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.[14]
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
“Jika amanat telah disia-siakan maka tunggulah kiamat, sahabat bertanya, bagaimana penyia-nyian amanat wahai Rasulullah saw.?Rasulullah menjawab, jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya”.
Lebih jauh dari itu, Nabi Muhammad saw. tidak mau memberikan amanat kepada Abu Zarr al-Ghifari ketika meminta jabatan, bahkan Nabi saw. mengatakan bahwa engkau terlalu lemah untuk posisi tersebut.[15]
عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).
“Dari Abu  Zarr berkata, saya berkata kepada Rasulullah saw. wahai Rasul, hendaklah engkau memberiku jabatan? Rasulullah saw. kemudian menepuk punggungnya seraya berkata, wahai Abu Zarr, sesungguhnya engkau itu lemah dan sungguh jabatan itu adalah amanat dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
Amanat memiliki jenis yang beraneka ragam, meliputi segala kepercayaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan suatu perbuatan. Amanat bisa bersifat material, seperti titipan barang atau uang untuk disampaikan kepada yang dikehendaki si penitip. Atau jugayang bersifat inmaterial, seperti kepercayaan rakyat atau anggota masyarakat kepada seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan kepemimpinan, menyampaikan pesan, atau nasehat, melaksanakan dan menegakkan hukum.[16]
Ada ungkapan menarik bahwa ‘kekuasaan itu amanat, karena itu harus dilaksanakan dengan penuh amanat’. Ungkapan ini menyiratkan dua hal. Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh adalah sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah swt (delegation of authority) karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanat dari Allah yang bersifat relatif yang kelak harus dipertanggung jwabkan di hadapan-Nya.[17] Dalam hal ini DR. Insinyur Muhammad Imaduddin Abdul Rahim M. Sc, mengatakan bahwa: “demokrasi itu adalah amanat Tuhan. Kemerdekaan, kebebasan, dan tugas kekhalifahan manusia juga adalah amanat. Semuanya harus ditunaikan sebaik-baiknya sebagai perwujudan bagian dari iman.” Kedua, karena kekuasaan itu pada dasarnya amanat, maka pelaksanaannyapun memerlukan amanat. Oleh karenanya peran dan tanggung jawab manusia dalam hal ini adalah harus dilakukan dengan sikap jujur dan memegang teguh prinsip kebenaran dan keadilan. Sehingga dalam hal ini amanat berarti sebagai prinsip atau nilai.[18]
Para sahabat Nabi seperti ibn Mas’ud (w. 32 H), ibn Abbas (w. 68 H) dan Ubay bin Ka’ab (w. 29 H) R. A., menganggap amanat itu “menyangkut segala-galanya” meskipun pengalamatannya kepada pemerintah jelas sekali karena kesimpulan itu merupakan ijma’ (konsensus). Para ulama berijma’ demikian ibn Mundzir bahwa segala jenis amanat haruslah ditunaikan kepada yang berhak. Bahkan, secara individu baik dia orang baik-baik maupun pendosa (Qurthubi, V:256). [19]

B.      Objek Amanat
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa objek atau orang yang diberi amanat dalam al-Qur’an mencakup beberapa jenis makhluk, antara lain:
1.       Nabi
Dalam al-Qur’an, makhluk yang paling sering disifati dengan amanat adalah para nabi dan rasul, sehingga dalam kitab-kitab ilmu kalam, para nabi dan rasul memiliki empat sifat yang wajib bagi mereka, sepertial-tablig/menyampaikan risalah kepada umatnya, al-fatanah /memiliki kecerdasan atau intelegensia yang tinggi, al-sidq /memiliki kejujuran dan al-amanat/dapat dipercaya atau memiliki integritas yang tinggi.[20]Dengan demikian, sering ditemukan dalam beberapa ayat, para rasul menyipati dirinya sebagai al-amīn.
Nabi Nuh misalnya ketika mengajak kaumnya untuk takut kepada siksaan Allah swt. atas kesyirikan yang mereka lakukan, namun kaum Nuh itu tetap mendustakan dia dan rasul-rasul sebelumnya, sehingga nabi Nuh mengatakan kepada kaumnya:       
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Mengapa kamu tidak bertakwa?.Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara’/26: 106-107).[21]
Nabi Nuh mengatakan hal tersebut di atas, sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang mereka lakukan padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya.[22]     
Senada dengan Nabi Nuh, Nabi Hud juga mengajak kaumnya agar mengenal Allah swt. dan taat kepada-Nya dengan melakukan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan menjauhkan dari siksaan-Nya, namun mereka tetap inkar dan mendustakan Nabi Hud dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nuh.        
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Mengapa kamu tidak bertakwa?.Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara’/26: 124-125).[23]
Bahkan pada ayat yang lain, Nabi Hud disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya, ketika kaumnya menolak ajakannya untuk menyembah Allah swt. dan takut kepada-Nya, akan tetapi kaumnya kemudian mengejeknya dengan menuduhnya sebagai orang bodoh dan pendusta, lalu Nabi Hud menyanggah ejekan itu dengan mengatakan:
يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi Aku Ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. al-A‘raf/7: 67-68).[24]
Menurut al-Razi, maksud dari ungkapan nasih amin dalam ayat tersebut sebagai:
1.        Sanggahan terhadap ungkapan kaumnya وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الكاذبين,
2.       Pokok pembicaraan tentang risalah dan tablig adalah amanat, sehingga ungkapan tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan kenabian,
3.       penjelasan tentang integritas Nabi Hud sebelum menjadi rasul sebagai seorang yang dikenal amanat oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak seharusnya kaumnya menganggapnya sebagai pembohong atau orang bodoh.[25]             
Hal yang sama dilakukan oleh Nabi Salih, Nabi Lu dan Nabi Syu’aib dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nuh dan Nabi Hud, yaitu:  
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Mengapa kamu tidak bertakwa?.Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.[26]
Di samping nabi-nabi yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga disifati sebagai al-amīn adalah Nabi Musa as., bahkan Nabi Musa disebutkan dua kali sebagai al-amīn dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. al-Dukhan/44:  18:
وَلَقَدْ فَتَنَّا قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ وَجَاءَهُمْ رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا إِلَيَّ عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Sesungguhnya sebelum mereka Telah kami uji kaum Fir'aun dan Telah datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia. (dengan berkata): "Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu”.[27]
Kata rasul al-amīn dalam ayat tersebut sebagai dasar ajakan Nabi Musa terhadap kaumnya agar beribadah kepada Allah swt.pengakuan Nabi Musa as. diperkuat oleh mukjizat yang dimilikinya.
Sedangkan al-amīn kedua yang diberikan kepada Nabi Musa terjadi bukan dalam masalah risalah, akan tetapi tentang penilaian putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Musa as. dengan mengatakan:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ.
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya” (QS. al-Qaa/28: 26).[28]
Dalam tafsir al-abari dijelaskan bahwa penilaian salah satu putri Nabi Syu’aib terhadap Nabi Musa bahwa dia sangat kuat dan dapat dipercaya karena apa yang dilihatnya pada saat Nabi Musa memberi minum terhadap hewan ternak mereka, sedangkan penilaian amanat terjadi karena keterjagaan pandangan Nabi Musa terhadap kedua putri Nabi Syu’aib dalam perjalanan ke rumah mereka.[29]
2.      Malaikat
Di antara makhluk yang menjadi objek amanat adalah malaikat. Malaikat terkadang disifati sebagai al-amin oleh Allah swt., khususnya Jibril pembawa wahyu kepada para nabi.
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ.
                                                                  “Dan Sesungguhnya al-Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam.Dia dibawa turun oleh al-Rūh al-Amīn (Jibril).Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (QS. al-u’ara’/26: 192-194).[30]
Menurut Ibn ‘Aur, yang dimaksud dengan al-rūh al-amīdalam ayat tersebut adalah Jibril as. Menurutnya, Jibril as. dinamakan al-rūh karena malaikat berasal dari alam ruhaniyah, sedangkan al-amīn diberikan sebagai kepercayaan Allah swt. terhadap Jibril untuk menyampaikan wahyu-Nya.[31]
Lain halnya dengan al-a’rawi, menurutnya Jibril as. disebut al-rūh karena dengan ruh seseorang akan hidup dan para malaikat itu hidup meskipun tidak memiliki jasad. Sedangkan al-amīn diberikan kepadanya karena dia terpelihara di sisi Allah swt., terpelihara di sisi al-Qur’an dan terpelihara di sisi Nabi saw.[32]
Dengan demikian, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud al-rūh al-amīdalam ayat tersebut adalah Jibril as.[33] karena hal itu diperkuat oleh ayat lain dalam QS. al-Baqarah: 97 yang menyebutkan nama Jibril as.
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ...
                                                                  “Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah”.[34]
Ayat lain yang menjelaskan tentang malaikat disifati dengan amanat adalah QS. al-Takwir/81: 21-22:
مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ. وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ.
                                                              “Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila”. [35]
Ayat tersebut di atas dan ayat sebelumnya menjelaskan beberapa sifat mulya malaikat Jibril as. di antaranya karim/mulya karena diberikan tugas yang paling mulya yaitu menyampaikan wahyu kepada para nabi, dhi quwwah/memiliki kekuatan dalam menjaga dan dijauhkan dari kelupaan dan kesalahan, dhi al-‘ar makin/mempunyai posisi yang tinggi di sisi Allah swt. karena dia diberi apa yang dimintanya, muta’in/yang ditaati di alam malaikat karena pendapatnya menjadi rujukan para malaikat,amin/dipercaya membawakan wahyu dan risalah Allah swt. terhadap para nabi-Nya.[36]        
Dari kedua ayat tersebut, diketahui bahwa amanat bukan saja diberikan kepada manusia, akan tetapi amanat juga dapat disematkan kepada para malaikat, khususnya malaikat Jibril as. selaku penghubung Allah swt. dengan para nabi-Nya. 
3.      Jin
Jin meskipun sering dikonotasikan sebagai makhluk durhaka, akan tetapi dalam al-Qur’an sebagian jin ada yang beriman kepada Allah swt.[37] bahkan ‘Ifrit dari golongan jin yang hidup pada masa nabi Sulaiman berkenan membantu nabi Sulaiman dengan berusaha memindahkan singgasana ratu Balqis, sebagaimana dalam QS. al-Naml/27: 39:
قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ. 
        T                                                     Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.[38]
Ayat tersebut menegaskan tentang kemampuan ‘Ifrit memindahkan singgasana ratu Balqis pada saat itu dalam waktu singkat.‘Ifrit juga menjamin bahwa dia dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas tersebut.
Al-Mawardi dalam tafsirnya menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan al-amīndalam ayat tersebut ada tiga pendapat, yaitu:
1)      Dia dapat dipercaya menjaga permata dan berlian yang terdapat dalam istana tersebut,
2)     Dia dapat dipercaya mendatangkan istana tersebut dan tidak menggantinya dengan istana lain,
3)      dia dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu Balqis.[39]
Namun mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-amīndalam ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang diberikan oleh ‘Ifrit untuk membawa istana seperti sedia kala tanpa ada perubahan, pengurangan atau penambahan, khususnya yang terkait dengan isi singgasana.
4.      Manusia
Dalam al-Qur’an, manusia satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanat dari Allah swt.pada saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan kepadanya.   
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
                                                                    “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[40]
Al-Biqa’i ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insan adalah mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia.Oleh karena itu, manusia yang khianat terhadap amanat jauh lebih banyak dari pada yang memegang amanat, karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan keinginan.Oleh sebab itu, Allah swt.menyifati manusia dengan alūm jahūlagar manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak dan ramah,al-‘iq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal fikiran dan al-fahm/pemahaman sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.[41]
5.      Wilayah
Selain yang telah disebutkan di atas, masih ada makhluk yang disifati dengan al-amīn,yaitu wilayah atau tempat tinggal sebagaimana yang diberikan kepada Mekahal-Mukarramah.
وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ.
“Dan demi kota (Mekah) Ini yang aman”.[42]
Al-Alūsi mengatakan bahwa kata al-amīdalam ayat di atas memiliki dua makna, yaitu bermakan dipercaya atau bermakna keamanan. Menurutnya, al-amīn diberikan kepada Mekah karena kota tersebut menjaga orang yang masuk ke dalam wilayahnya, bahkan menjaga hewan atau tumbuhan yang ada di dalamnya, sebagaimana orang yang dipercaya menjaga apa yang dipercayakan kepadanya.[43] Dengan demikian, Mekah disamakan dengan makhluk hidup karena memiliki kesamaan yaitu penjagaan.
C.     Bentuk-bentuk Amanat
Sebagaimana definisi amanat yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa amanat adalah segala hal yang dipercayakan oleh Allah atau sesama hamba untuk dijaga dan dilaksanakan, secara garis besar, hal-hal yang menjadi penekanan amanat berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an antara lain:
1.       Pekerjaan
Amanat merupakan pekerjaan yang amat berat, bahkan  langit, bumi dan gunung-gunung tidak mau menerima amanat ketika ditawari, bukan karena ketidakloyalan mereka terhadap Allah swt., akan tetapi ketidaksiapan mereka memikul beban amanat.
Amanat dalam bentuk pekerjaan meliputi berbagai macam pekerjaan, baik amanat tersebut dari oleh Allah swt., seperti tugas menyampaikan risalah yang dibebankan kepada malaikat Jibril as. sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya atau amanat sebagai penerima risalah atau menjadi nabi dan rasul sebagaimana pembahasan ayat-ayat yang terkait dengan amanat yang dimiliki para nabi.
Menurut al-Razi, amanat secara umum dapat dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu:
a)        Amanat hamba terhadap Allah, yaitu apa yang telah dijanjikan hamba untuk dijaga yakni segala bentuk perintah dan larangan Allah swt. terhadap hambanya dan menggunakan anggota badan terhadap apa yang bermanfaat baginya dan mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Segala bentuk maksiat merupakan pengkhianatan terhadap amanat Allah swt., menurut Ibn ‘Umar sebagaimana yang dikutip al-Razi, amanat terhadap Tuhan sangat luas cakupannya. Setiap anggota tubuh merupakan amanat Tuhan. Lidah misalnya tidak bisa digunakan untuk berdusta, gibah, adudomba, kekafiran, bid’ah dan fungsi-fungsi lain yang tidak semestinya. Dengan demikian, anggota badan jika digunakan bukan pada fungsinya maka termasuk pengkhianatan terhadap amanat.[44]
b)       Amanat hamba terhadap hamba lain, yaitu menjaga amanat terhadap makhluk lain, seperti pengembalian titipan, tidak melakukan penipuan dalam bentuk apapun, menjaga rahasia dan segala bentuk kewajiban individu, pemerintah, keluarga dan kerabat. Menurut al-Razi, termasuk dalam bentuk amanat ini adalah keadilan pemerintah terhadap rakyatnya dan keadilan ulama terhadap masyarakat dengan tidak menjadikan mereka orang yang fanatik sesat.
c)        Amanat hamba terhadap dirinya, yaitu memilih sesuatu yang bermanfaat dan yang paling layak untuk dirinya dalam masalah agama dan dunia serta tidak melakukan sesuatu karena dorongan syahwat dan amarah.[45]
Berbeda dengan al-Razi, Muhammad ‘Abduh sebagaimana yang dikutip Rasyid Rida ketika menafsirkan ayat tentang amanat mengatakan bahwa amanat dibagi dalam dua bagian, yaitu amanat ilmu pengetahuan dan amanat harta benda.[46]
Pada ayat yang lain dijelaskan bahwa amanat dalam bentuk pekerjaan tidak hanya diberikan oleh Allah swt., akan tetapi juga bisa datang dari sesama makhluk dalam urusan duniawi dan tidak terkait dengan harta benda, seperti permintaan saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka agar dipercaya menjaganya dalam permainan.
قَالُوا يَا أَبَانَا مَا لَكَ لا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ.
“Mereka berkata: "Wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya” (QS. Yusuf/12: 11).[47]
Senada dengan ayat di atas bahwa amanat ada yang terkait dengan penjagaan semata dan tidak terkait dengan harta benda adalah hadis Rasulullah saw. tentang menjaga rahasia.[48]
إِذَا حُدِّثَ الإِنْسَانُ حَدِيثًا وَالْمُحَدِّثُ يَتَلَفَّتُ حَوْلَهُ فَهُوَ أَمَانَةٌ. 
“Jika seseorang diceritakan tentang sesuatu/rahasia dan orang yang bercerita telah pergi darinya maka cerita itu menjadi amanat baginya”.
Sedangkan pada yang ayat lain, Allah swt. menjelaskan tentang amanat dari sesama makhluk dalam bentuk pekerjaan yang bersifat materi antara lain:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
                                                   “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[49]
Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa membayar hutang merupakan amanat, karena pada dasarnya hutang-piutang yang terjadi seharusnya dikwitansikan agar ada bukti. Kalaupun tidak bisa dikwitansiakn, maka seharusnya ada barang yang digadaikan sebagai bentuk kominten membayar hutang.Dan kalau hal tersebut juga tidak ada, maka hutang merupakan amanat yang harus ditunaikan.
2.      Hukum
Meskipun hukum bagian dari pekerjaan, akan tetapi pemakalah cenderung mengkhususkan pembahasannya, kaitannya dengan kekurangsadaran manusia terhadap amanat dalam bidang hukum. Dalam al-Qur’an, ada dua ayat yang mengarah pada amanat dalam masalah hukum.Salah satu di antaranya adalah QS. al-Nisa’ ayat 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.[50]
Pada ayat tersebut di atas, bahwa dalam membangun pemerintahan, prinsip yang dilakukana adalah amanat dan ‘adalah-Amanat merupakan asas hukum Islam pertama sedangkan ‘adalah adalah asas kedua, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[51]



D.    Adil Sumpah Serta Kaitannya Dengan Amanat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Maidah:8)
Keadilan (a’dl) menurut Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat Muslim yang sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa mendatang. Dalam Islam, antara keimanan dan keadilan tidak terpisah. Orang yang imannya benar dan berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam surat di atas. Keadilan adalah perbuatan yang paling takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.
Dalam al-Quran, keadilan dinyatakan dengan istilah “‘adl” dan “qist”.Pengertian adil dalam Alquran sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi.Dalam semangat moderasi dan toleransi, juga dinyatakan dengan istilah “wasath” (pertengahan).“Wasath” adalah sikap berkeseimbangan antara dua ektrimitas serta realitas dalam memahami tabiat manusia, baik dengan menolak kemewahan maupun aksetisme yang berlebihan. Sikap seimbang langsung memancar dari sikap tauhid atau keinsyafan mendalam akan hadirnya Tuhan Yang Maha Esa dalam hidup, yang berarti kesadaran akan kesatuan tujuan dan makna hidup seluruh alam ciptaan-Nya.[52]
Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat (amanat, titipan suci dari tuhan) kepada manusia untuk sesamanya.Khususnya amanat yang berkenaan dengan kekuasaan memerintah.Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup kita.Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa.Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.
Ayat di atas juga mencerminkan beberapa prinsip berikut;Pertama, berlaku amanat.Setiap orang mampu menjaga kehidupan materinya dan bekerja untuk menghidupi keluarga.Seorang mukmin tidak diperkenankan untuk berlaku curang, bohong dan khianat.Kedua, berlaku adil dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan manusia.
Ibn Taimiyah dalam komentarnya mengenai ayat di atas menyebutkan, “Wahai para pemimpin Muslim, Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku amanat dalam kepemimpinan kalian, tempatkanlah sesuatu pada tempat dan tuannya, jangan pernah mengambil sesuatu kecuali Allah mengizinkannya, jangan berbuat zalim, berlaku adil adalah keharusan dalam menetapkan keputusan hukum di antara manusia. Semua ini adalah perintah Allah yang ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah.Jangan pernah melanggarnya, karena itu perbuatan dosa.”
Imam Qurubi menyampaikan, “Ayat di atas berlaku umum untuk semua manusia yang menjadi pemimpin kalangan Islam.Keadilan dalam distribusi pendapatan menghancurkan setiap gerakan kezaliman dalam pemerintahan.Seorang pemimpin Muslim harus bisa berlaku amanat setiap menerima titipan, menyampaikan kesaksian dan lain sebagainya.Perintah untuk berlaku adil sama halnya dengan perintah shalat dan ibadah lainnya.”

E.     Sikap al-Qur’an terhadap Amanat
Untuk melihat seberapa penting amanat dalam kehidupan sehari-hari, maka penting menjelaskan sikap al-Qur’an terhadap amanat. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan ayat-ayat amanat dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:  
1.       Perintah Melaksanakan Amanat
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(QS. Al-Nisa 58)
Kata-kata amanat memiliki padanan kata atau harus disandingkan dengan kataتؤدّوا”tu'addū (jama')-تؤدّى "tu'addī" (mufrod). tidak bisa disandingkan dengan kata lain misalnyaتقيموا”tuqīmū atauتقضى“taqdhī atau sebagainya. Karenaتؤدّواberarti menunaikan, membayar. Jadi, dari penggunaan kata tersebut dapat dimaknai bahwa amanat sama dengan janji yang harus dibayar dan ditunaikan.[53]
Ayat ini meskipun menggunakan redaksi yang umum “kepada kamu sekalian”, namun secara lebih khusus pembicaraan ayat ini ditujukan kepada para pemimpin dan penguasa seperti yang dipahami oleh Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam yang dinukil oleh Ibn Katsir.
Pemahaman seperti ini sangat tepat, karena merekalah yang memiliki amanat yang besar untuk ditunaikan sehingga mereka diminta untuk menjaga amanat dan pemerintahan tersebut dengan benar dan adil. Jika amanat dan keadilan disia-siakan, maka umat manusia akan binasa dan negeri ini akan hancur.
Dan dari Jabir ra.berkata, tatkala Nabi saw. berada dalam suatu majelis sedang berbicara dengan sahabat, maka datanglah orang Arab Badui dan berkata : Kapan terjadi Kiamat? » Rasulullah saw. terus melanjutkan pembicaraannya. Sebagian sahabat berkata: »Rasulullah saw. mendengar apa yang ditanyakan tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakannya«. Berkata sebagian yang lain: »Rasul saw.tidak mendengar”. Setelah Rasulullah saw. menyelesaikanperkataannya, beliau bertanya:Mana yang bertanya tentang Kiamat ?” Berkata orang Badui itu:Saya wahai Rasulullah saw.. Rasul saw. Berkata:Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah Kiamat”. Bertanya:Bagaimana menyia-nyiakannya?”. Rasul saw. Menjawab: Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat”[54]
adīth ini sebuah peringatan dari Rasul saw. agaramanat itu diberikan kepada ahlinya. Dan puncak amanat adalah amanat dalam kepemimpinan umat.Jika pemimpin umat tidak amanat berarti kita tinggal menunggu kiamat atau kehancuran.

...إنّ الله نعمّا يعظكم به...
“sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya...”
Melihat ungkapan di atas dari sudut metode penyampaiannya, merupakan susunan kalimat yang aslinyaإنّه نعمّا يعظكم الله به... tetapi diubah menjadi kalimat dengan mendahulukan lafal jalalah (Allah), dan dijadikannya sebagai isim inna, sedang perkataan نعم ماdan diubah menjadi نعمّاbeserta semua muta’alliqatnya itu berada dalam posisi sebagai khabar inna sesudah membuang khabarnya. Hal ini untuk memberikan kesan betapa eratnya hubungan antara Allah dan pengajaran-Nya yang diberikan kepada mereka itu. Akan tetapi, sebenarnya hal itu bukanlah ‘izhah, pengajaran atau nasehat. Melainkan amr; perintah. Hanya saja dalam kalimat ini ta’birnya diungkapkan dengan ‘izhah; pengajaran atau nasehat, karena ‘izhah itu lebih menimbul kesan di hati, lebih cepat masuk perasaan, lebih dekat untuk bisa menunaikannya, yang didorong oleh perasaan suka rela, keinginan dan rasa malu.
Kemudian pada ujung ayat diakhirilah oleh kalimat yang menghubungkan perintah itu dengan Allah, supaya berkesan menimbulkan rasa muraqabah, takut dan berharap pada-Nya.
...إنّ الله كان سميعا بصيرا
“... sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Keserasian antara tugas-tugas yang diperintahkan yaitu menunaikan amanat-amanat dan memutuskan hukum dengan adil di antara manusia dengan keberadaan Allah swt sebagai dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat itu memiliki munasabah (hubungan) yang jelas dan halus secara bersamaan. Maka dalam hal ini Allah berarti senantiasa mendengar dan melihat terhadap masalah-masalah keadilan dan akhlak. Keadilan ini juga memerlukan pemeliharaan semua hal yang bisa dilihat dan didengar dan baiknya ketetapan, dan memperhatikan penjagaan memikirkan secara mendalam apa-apa yang ada di balik fenomena-fenomena dzawahir (lahiriyah), dan yang terakhir dari bahasan ini, sesungguhnya perintah terhadap keduanya itu bersumber dari Allah dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat segala persoalan.[55]
Allah swt berfirman: (QS. Al-Ahzab: 72)
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا (٧٢)
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.
Sayyid Qub menjelaskan dalam ayat di atas bahwa sesungguhnya langit, bumi dan gunung-gunung yang dipilih oleh al-Qur’an sebagai bahan pembicaraannya adalah makhluk-makhluk yang besar yang agung, di mana manusia tinggal di dalamnya atau disekitarnya. Sehingga bila dibandingkan dengannya maka manusia akan tampak amat kecil.
                Makhluk-makhluk yang besar dan agung itu dapat mengenal penciptanya tanpa usaha apapun. Mereka itu selalu bersikap tunduk secara langsung tanpa harus berfikir dan tanpa perantara (otomatis) kepada sistem dan hukum yang ditetapkan Allah yang mengaturnya. Mereka terus berjalan sesuai dengan aturan hukum itu, juga berputar pada porosnya, dan berjalan mengelilingi jalurnya pada galaksi alam semesta, serta terus melakukan tugasnya sesuai dengan tabiatnya dan hukumnya tanpa kesadaran dan pilihannya.[56]
...وحملها الوحملها الإنسان ...
                “... dan dipikullah amanat itu oleh manusia...”
                Manusia yang mengenal Allah dengan pengetahuan dan perasaannya pasti tertuntun (mengikuti petunjuk) kepada hukum-Nya dengan pikiran dan pandangannya. Manusia dapat beramal sesuai dengan hukum itu sebetulnya karena atas usaha dan pengorbanannya menaati Allah dengan kehendaknya dan juga atas kemauan dirinya sendiri melawan segala kecendrungan penyimpangan libidonya (dorongan nafsu seksual atau birahi yang bersifat bawah sadar naluri) dan menentang segala dorongan nafsu syahwat. Dalam setiap langkah-langkah itu ia bisa sadar, memiliki kehendak untuk mengetahui dan memilih jalannya dan tahu kemana jalan itu akan mengantarkannya.
Sesungguhnya amanat itu sangat besar namun manusia telah menyatakan kesanggupan memikulnya. Padahal ia sangat kecil tubuhnya, sedikit kekuatanya, lemah usahanya, terbatas umurnya, serta senantiasa diliputi dan digelorakan oleh syahwat nafsu, libido, kecenderungan dan ketamakan.
Sesungguhnya langkah menyanggupi beban yang berat itu merupakan bahaya yang sangat besar. Oleh karena itu manusia sangat zhalim (tidak adil) kepada dirinya sendiri dan jahil (bodoh) terhadap kekuatanya. Hal itu bila dibandingkan dengan berat dan besarnya beban yang harus ditanggung, sehingga ketika ada manusia yang mampu melaksanakan beban itu, bisa mengetahui pencipta-Nya, menjadi tertuntun langsung kapada hukum-Nya, tunduk secara sempurna kepada kehendak Tuhanya dengan kesadaran dan kehendaknya sendiri, maka ia berarti telah sampai kepada kedudukannya yang mulia dan kedudukanya yang langka (utama) dihadapan Allah SWT.
Kehendak, pengetahuan, usaha, dan peleksanaan beban amanat itulah yang membedakan manusia dari seluruh makhluk Allah yang lainnya. Itulah sebab keistimewaan manusia dari makhluk Allah lainya uyang pernah diumumkan ketika Allah memerintahkan seluruh malaikat untuk bersujud kapada Adam. Dan Allah telah mengumumkan hal itu dalam al-Qur’an yang abadi.
ولقد كرمنا بني أدم...
“Dan sesungguhnya telah kamu muliakan anak-anak Adam...”
Jadi, hendaklah manusia menyadari tanda kemuliaanya di sisi Allah. Hendaklah ia menunaikan amanat yang telah dipilihnya sendiri dan telah ditawarkan pada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka banyak juga yang tidak mau menunaikanya. Demikianlah konsekuensi yang harus dilakukanya.[57]
Ayat-ayat di atas menunjukkan perintah Allah SWT, secara umum pada setiap Muslim untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak, yang mencakup semua hal yng dipercayakan kepadanya baik yang berhubungan dengan hak dirinya, orang lain, maupun tuhannya.
Islam merupakan agama yang mengatur antara makhluk dengan pencipta-Nya dalam tataran ibadah baik sosial maupun individual. Dalam bentuk lain, Islam juga sebagai kontrol yang mengembangkan sistem menejerial yang tegas dan ketat. Maka dalam menyikapi sangsi bagi para koruptor (pengkhianat) Islam tidak pandang bulu, apakah dia pejabat ataukah lainnya.Seketika terdakwa sebagai koruptor maka dia harus diadili.Adapun tujuan dari pemberian hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera supaya tidak mengulanginya lagi, dan menciptakan rasa aman, damai dan rukun dalam masyarakat maupun Negara.
Karena dengan terlaksananya amanat kepemimpinan dengan baik, maka akan terealisir secara otomatis amanat-amanat yang lain, baik terkait dengan amanat kepada Allah swt maupun amanat yang berhubungan dengan sesama hamba dan dengan diri sendiri.
Perintah amanat inilah yang berlaku universal kepada siapapun tanpa melihat sifat dan keadaan orang tersebut.Maimun bin Mahran mengatakan, “Tiga hal yang harus ditunaikan, baik kepada orang yang berbakti maupun kepada pelaku maksiat: amanat, janji dan silaturahim”.
Amanat kepemimpinan menjadi prioritas dari ayat di atas dilihat dari keterkaitan antara kalimat dalam ayatnya dengan menggunakan wau athaf.Bahwa Allah swt menyebutkan perintah “untuk menetapkan hukum diantara manusia dengan adil” setelah perintah menunaikan amanat.Padahal memutuskan hukum diantara manusia merupakan diantara tugas dan kewajiban seorang pemimpin.
لا إِيْمانَ لِمَنْ لا أَمانَةَ لَهُ، ولا دِيْنَ لِمَنْ لا عَهْدَ لَهُ
“Tidak ada iman orang yang tidak punya amanat, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya.” (HR. Ahmad no. 12787 dan sanadnya dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah: 1/17)
F.     Larangan Mengkhianati Amanat

Ø  Qs. Al-Mu’miūn ayat 8
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ(٨)
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Ø  Q. S. Al-Ma’arij ayat 32:
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (٣٢)
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Kata amānātihim adalah bentuk jamak dari amānah.[58]Ia adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya ia dikembalikan oleh si penerima dengan baik serta lapang dada.[59] Kata amānah terambil dari kata amina/percaya dan aman. Ini karena amanat disampaikan oleh pemiliknya atas dasar kepercayaannya kepada penerima bahwa apa yang diserahkannya itu akan terpelihara dan aman di tangan penerima. Islam mengajarkan bahwa amanat atau kepercayaan adalah asas keimanan, berdasar sabda Nabi saw: “tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanat.”
Kata ‘ahd antara lain berarti wasiat dan janji. Yang dimaksud adalah komitmen antara dua orang atau lebih untuk sesuatu yang disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Misalnya berjanji untuk bertemu di tempat dan waktu tertentu. ‘ahd atau janji semacam ini adalah salah atu yang paling banyak dilanggar oleh umat manusia termasuk kaum Muslimin, padahal ia merupakan ciri orang beriman. Bahkan menurut pandangan masyarakat modern ia adalah salahatu dari tiga sifat yang harus dipenuhi seseorang yang ingin menyandang gelar ‘gentle man’. Dua sifat lainnya adalah harga diri dan penghormatan kepada wanita.
Kata rāūn terambil dari kata ra’iya yaitu memperhatikan sesuatu hingga tidak rusak, sia-sia atau terbengkalai, dengan jalan memelihara, membimbing dan juga memperbaikinya bila terjadi kerusakan.
Dalam salah satu sabda Nabi, sangat jelas menunjukkan pentingnya bagi seseorang untuk memelihara amanat yang diberikan kepadanya:
عَنْ أَبي هريرة، رَضِيَ اللهُ عَنْه، أن رسولَ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ :آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وإِذَا آؤْتُمِنَ خَانَ.[60]
Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Rasulullah saw bersabda:Tanda orang munafik itu tiga macam yaitu jikalau berkata dusta, jikalau berjanji menyalahi - tidak menepati - dan jikalau diamanati - dipercaya untuk memegang sesuatu amanat - lalu berkhianat.[61]
Selain kedua ayat di atas, perintah untuk memelihara amanat juga terdapat dalam surat al-Anfal ayat 27:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالاتَخُونُوااللَّهَوَالرَّسُولَوَتَخُونُواأَمَانَاتِكُمْوَأَنْتُمْتَعْلَمُونَ (٢٧)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Kata taḳūnū diambil dari kataal-aun yakni kekurangan, antonimya adalah al-wafā yang berarti kesempurnaan. Selanjutnya kata khianat digunakan sebagai antonim dari amanat karena jika seseorang mengkhianati pihak lain, dia telah mengurangi kewajiban yang harus ia tunaikan. Kata amānat adalah bentuk jamak dari kata  amanat yang terambil dari kata  amina yang berarti merasa aman dan percaya. Siapa yang dititipi amanat, berarti yang menitipkannya percaya padanya dan meresa aman bahwa sesuatu yang dititipkan akan dipelihara olehnya-secara aktifatau paling tidak secara pasif hingga nanti suatu saat diminta kembali oleh yang menyerahkannya, ia akan mendapati titipannya tidak hilang, tidak kurang, dan tidak rusak, tetap sebagaimana ketika diserahkan sebagai pemeliharaan pasif, bahkan lebih baik dan berkembang sebagai pemeliharaan aktif.
Segala sesuatu yang ada dalam genggaman manusia adalah amanat Allah swt Agama adalah amanat Allah, bumi dan segala isisnya adalah amanat Allah, keluarga dan anak-anak adalah amanat Allah, bahkan jiwa dan raga manusia bersama potensi yang melekat pada dirinya adalah amanat Allah swt semua harus dipelihara dan dikembangkan.
Amanat manusia terhadap manusia menyangkut banyak hal, bukan hanya harta benda yang dititipkan atau ikatan perjanjian yang disepakati, tetapi termasuk juga rahasia yang dibisikkan. Pengulangan kata taḳūnū atau mengkhianati oleh Al-BiqaaI dipahami sebagai isyarat bahwa khianat kepada Allah berbeda pada khianat selain-Nya. Khianat kepada Allah bersifat akiki karena segala sesuatu, termasuk apa yang diamatkan oleh manusia kepada manusia lain, bersumber dari-Nya, sedangkan khianat kepada selain-Nya bersifat majazi. Demikian yang ditulis oleh Al-Baaqi.Karena itu pengulangan bertujuan mengisyaratkan bahwa pengkhianatan amanat manusia tidak lebih kecil dosanya dan tidak lebih kurang dampak buruknya daripada mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
abaabāI memahami penggalan kalimat taḳūnū amānātikum atau mengkhianati amanat-amanat kamu sebagai satu kesatuan yang berkaitan dengan khianat kepada Allah dan RasulNya. Ada amanat Allah kepada manusia, seperti hukum-hukum yang disyariatkanNya agar dilaksanakan.Ada amanat Rasul SAW kepada manusia, seperti keteladanan yang beliau tampilkan, ada amanat antar sesama manusia, seperti penitipan harta benda dan rahasia.Adalagi yang merupakan amanat bersama-Allah, Rasul, dan orang-orang mukmin-yaitu persoalan-pesoalan yang dititipkan Allah dan dilakukan Rasul SAW dan diraih manfaatnya oleh kaum mukminin.Amanat ini melahirkan kemaslahatan masyarakat. Ini anatar lain seperti rahasia militer atau politik yang bila dibocorkan dapat merugikan kaum Muslimin juga melanggar hak Allah dan RasulNya.
Firman-Nya wa antum ta’lamūn  atau sedang kamu mengetahui dipahami oleh abaabāI sebagai bertujuan untuk membangkitkan fitrah dan rasa kepedulian yang muncul dari lubuk hati mitra bicara agar menghindari khianat itu. Dan bukanlah syarat larangan berkhianat.
Ada yang memahami penggalan ayat terakhir di atas sebagai bentuk toleransi melakukan khianat dalam artian boleh berkhianat jika tidak sadar akibat buruknya dan tidak boleh berkhianat jika sadar akan akibat buruknya. Lalu ada yang memahami penggalan tersebut sebagai larangan dan seorang mukminmengetahui bahwa khianat terhadap amanat adalah haram. Sedangkan asbab al-nuzul ayat diatas adalah sebagai berikut:
Sebab turunnya suratal-Anfal ayat 27 dalam suatu riwayat dimulai dengan penundukkan Bani Quraidzah oleh Rasulullah SAW beserta bala tentara Islam. Rasul memerintahkan kepada Bani Quraidzah untuk taat terhadap apapun keputusan atau ketetapan dari Saad bin Muadz dan mereka pun menyutujuinya. Namun mereka memohon kepada Rasulullah SAW untuk mengutus Abu Lubabah kepada mereka, kemudian beliau pun memenuhi permohonan mereka.Saat Abu Lubabah telah hadir dihadapan mereka, terjadilah dialog antara mereka dengannya.
“Wahai Abu Lubabah, haruskah kami mentaati perintah dari Saad bin Muadz? Tanya Bani Quraidzah. Abu Lubabah menjawab, Demi Allah jika kalian mematuhinya maka kalian seperti ini, kemudian dia menaruh tangannya di lehernya seperti ingin memotongnya, yang berarti jika Bani Quraidzah tetap mematuhi perintah Saad bin Muadz maka mereka seperti memotong leher mereka sendiri atau bunuh diri.
Tiba-tiba muncul rasa bersalah dari dalam hati Abu Lubabah karena telah berusaha membuat Bani Quraidzah berkhianat terhadap janji mereka kepada Rasulullah untuk taat terhadap Saad bin Muadz. Lalu Abu Lubabah berlari menuju masjid Madinah dan mengikatkan dirinya di tiang masjid. Dia bersumpah tidak akan membuka tali tersebut kecuali Rasulullah SAW sendiri yang melepasnya. Semua orang berkerumun dan berusaha membujuk Abu Lubabah untuk membuka ikatannya. Namun dengan lantang dan penuh penyesalan ia berkata, Demi Allah, aku tidak akan membukanya hingga Rasulullah SAW yang membukanya dengan tangan beliau sendiri!Rasulullah SAW yang mengetahui kejadian tersebut segera bergegas menuju masjid Madinah.Saat tiba di masjid, beliau segera melepaskan ikatan tersebut dan memberitahukannya bahwa Allah SWT telah mengampuni dosanya. Abu Lubabah yang gembira atas kabar tersebut lalu berkata, Aku akan menyedekahkan seluruh hartaku.
Kemudian Rasulullah SAW besabda, Sedekahkanlah sepertiganya saja. “
Ayat diatas berisi tentang pentingnya menjaga amanat/janji dan larangan untuk khianat. Secara bahasa amanat bermakna al-wafa (memenuhi atau menyampaikan) dan wadiah (titipan) sedangkan secara definisi amanat berarti memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Sedangkan khianat artinya mengingkari tanggung jawab, berbuat tidak setia, atau melanggar janji yang telah dia buat. Secara luas khianat berarti mengingkari tanggung jawab yang telah dipercayakan terhadap dirinya, baik datangnya dari orang lain maupun dari Allah SWT.
Amanat atau janji dan khianat adalah kata-kata yang saling berlawanan makna dan saling berkaitan.Dengan tegas Allah melarang orang-orang yang beriman untuk khianat terhadap amanat dari Allah dan Rasulullah,yang berarti larangan untuk lalai terhadap segala perintah dan kewajiban sebagai seorang Muslim, seperti sholat yang merupakan amanat dari-Nya untuk dijalankan sesuai syariat. Amanat dari sesama manusia seperti amanat jabatan seorang anggota legislatif, rakyat telah memberinya kepercayaan dan amanat untuk memperjuangkan nasib rakyat di pemerintahan, dan ini merupakan sebuah keniscayaan untuk ditunaikan. Dan Allah dengan tegas melarang untuk berkhianat, larangan dalam al-Qur’an memiliki arti kewajiban untuk dihindari dan haram hukumnya apabila tetap dilaksanakan, seperti korupsi yang terjadi di jajaran anggota legislatif, berarti mereka telah ingkar atas amanat yang mereka emban dari rakyat dan ini merupakan hal yang dilaknat Allah SWT.
Amanat adalah kepercayaan dari yang memberi kepada yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang dititipkan harus dipelihara sebagaimana mestinya, dan pada saatnya mengembalikan pada pemberi atau peminjam ia akan menerimanya dalam keadaan utuh. Dan pemberi tidak akan meminta melebihi apa yang sudah disepakati oleh kedua pihak. Karena itu lanjutan ayat ini mengingatkan agar, yang menerima dan yang memberi, bertakwa pada Allah Tuhan pemeliharanya.[62]
Al-Quran memuji orang-orang yang beriman yang jujur dan menunaikan janji mereka tanpa ragu-ragu[63]: Sebagaimana firman Allah SWT:
di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu[64]dan mereka tidak merubah (janjinya).

PENUTUP
A.     Kesimpulan

Amanat adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanat, baik dari kalangan malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta. Namun karena amanat sangat berat dilaksanakan dan dijaga sehingga harus diberikan kepada orang yang profesional di bidang tersebut.
Amanat dilihat dari segi objek yang mendapatkan amanat, dapat diklasifikasi dalam beberapa bagian, yaitu amanat bagi para nabi dan hal tersebut yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an karena amanat merupakan sifat wajib bagi para rasul, amanat bagi malaikat, khususnya pembawa wahyu yaitu Jibril as., amanat bagi jin yang hidup pada masa Nabi Sulaiman, amanat bagi manusia secara umum dalam melaksanakan hal-hal yang terkait dengan kewajiban kepada Allah swt., sesama manusia dan kepada dirinya sendiri, bahkan ada amanat yang diberikan kepada wilayah/kampung yaitu kota Mekah.
Amanat juga dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu amanat dalam bentuk pekerjaan yang mencakup semua bentuk pekerjaan yang dipercayakan kepada seseorang, baik dari Allah swt. maupun dari sesama manusia. Dan amanat dalam bentuk hukum yang sebenarnya juga merupakan pekerjaan, akan tetapi khusus disebutkan karena menjadi asas pemerintahan yang Islami.
Sikap al-Qur’an terhadap amanat terlihat dari perintah Allah swt.kepada manusia untuk menunaikan amanat tersebut. Perintah tersebut menggunakan fi’il amr, fi’il mudari’ dan isim yang menunjukkan betapa amanat tersebut harus dijaga dan dilaksanakan, bahkan al-Qur’an tidak cukup sekedar memerintahkan akan tetapi juga melarang khianat terhadap amanat, bahkan khianat terhadap amanat sejajar dengan khianat terhadap Allah dan rasul-Nya. 
B.      Saran
Dalam makalah ini, kami amat menyadari banyaknya kekurangan yang terdapat di dalamnya. Di antaranya kami masih memiliki titik kelemahan pada penetapan setiap sub judul di dalam setiap pembahasan kami. Sumber yang kami gunakanpun belum terlalu memadai untuk bisa dijadikan referensi secara tepat. Di dalam makalah ini juga belum terdapat kaitan antara amanat, sumpah, dan janji yang sesuai dengan permintaan bapak dosen.
Maka dari itu, dengan sangat kerendahan hati, kami sebagai pemakalah sangat mengharapkan bagi para pembaca agar bisa memberikan input saran dan kritik yang akan sangat membangun kami dalam merampungkan sebuah tulisan dengan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Baqi, Muhammad Fu’ad, al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an, Surabaya: Maktabah Dahlan, tt,
Asa, Syu’bah, Dalam Cahaya al-Qur’an Tafsir ayat-ayat Politik, Jakarta, Pustaka Utama : 2000
Gulen, M. Fethullah, Versi Terdalam: Kehidupan Rasulallah Muhammad SAW, Jakarta, Raja Grafindo Persada:2002
Mulyadi, Konsep Amanat dalam al-Qur’an (Skripsi kajian Q. S. Al-Ahzab 72 dan Annisa 58 dalam tafsir Fi Dzilal al-Qur’an) (Jakarta, FSH: 2005)
Al-Munawar, Said Agil, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat press, 2002), cet. I
Praja Johaya S., Tafsir Hikmah: Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia,(Bandung: Rosda Karya, 2000) cetakan I
Qub, Sayyid, Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syrūq), Jilid 5
Rasjid, Sulaiman, Al-Fiqh al- Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo:1994
Ridlo, Rofiqur, Manusia dan Konsep Amanat Menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar, 2006
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Volume 1 ,Jakarta, Lentera Hati:2002
Yasid, Abu, Fiqih Realitas (Respon Ma’had Ali Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
‘Asyur, Muhammad Tahir ibn. al-Tahrir wa al-Tanwir. Tunis: al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984 M.
Al-Andalusi, Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf. al-Bahr al-Muhit. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il. Sahih al-Bukhari. Cet. III; Beirut: Dar Ibn Kasir, 1407 H./1987 M.
Al-Dimasyqi, Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kasir.Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Cet. I; al-Qahirah: al-Faruq al-Khadasiyah li al-Tiba’ah, 1421 H./2000 M.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad. al-Nukat wa al-‘Uyun. CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cet. I; Mesir: Mustafa al-Babi al-Halibi wa Auladih, 1365 H./1946 M.
Al-Qurubi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Syams al-Din. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Cet. II; al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1384 H./1964 M.
Al-Razi, Muhammad Fakhr al-Din. Mafatih al-Gaib. Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H./1981 M.
Al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir.Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an.Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1420 H./2000 M.
Al-Wahidi, Abu al-Husain ‘Ali ibn Ahmad.Asbab al-Nuzul. Cet. II; al-Mamlakah al-Sa’udiyah: Dar al-Islah, 1412 H./1992 M.
Al-Zuhaili, Wahbah ibn Mustafa. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Cet. II; Damsyiq: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1418 H.
_________________, al-Tafsiral-Wasit. Cet. I; Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422 H.
Hanbal, Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn. Musnad Ahmad ibn Hanbal. Cet. I; Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1419 H./1998 M.
Muslim, Mustafa. Mabahis fi al-Tafsir al-Maudu’i. Dimasyq: Dar al-Qalam,1410 H./1989 M.
Rida, Muhammad Rasyid ibn ‘Ali. Tafsir al-Manar. Mesir: al-Haiah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990 M.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya.al-Madinah al-Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd, 1418 H.
Zakariya, Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin.Mu’jam Maqayis al-Lugah. Beirut: Dar al-Fikr, t.th























*Hani Hilyati Ubaidah, hani.hilyati@yahoo.com
** Lukmanul Hakim,lukaman_ibnduroip@yahoo.co.id/halimluk99@yahoo.com
*** Nur Laely,lely.nuril@yahoo..com
[1]Abu Yasid, Fiqih Realitas (respon ma’had ali terhadap wacana hukum Islam kontemporer), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 10

[2]Abu Yasid, Fiqih Realitas (respon ma’had ali terhadap wacana hukum Islam kontemporer), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 10
[3]. Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz. III (Cet. I; Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 135.
[4]Rofiqur Ridlo, Manusia dan Konsep Amanat Menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar, 2006, h. 67
[5]. Abu al-Baqa’ Ayyub ibn Musa al-Husaini al-Kafumi, Mu’jam fi al-Mustalahat wa al-Furuq al-Lugawiyah (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1419 H./1998 M.), h. 269.  
[6]. Muhammad Rasyid ibn ‘Ali Rida, Tafsir al-Manar, Juz.V (Mesir: al-Haiah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990 M.), h. 140.
[7]. Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Gaib,Juz. X (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H./1981 M.), h. 145
[8]. Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr al-Muhit, Juz. VII (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M.), h. 243.
[9]Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Syams al-Din al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz. XII (Cet. II; al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1384 H./1964 M.), h. 107.
[10].Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madīnah al-Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd, 1418 H.)h. 71.
[11]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madīnah al-Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd, 1418 H.)h. 680.
[12]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madīnah al-Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd, 1418 H.)h. 71. 
[13]. Lihat: QS. al-Ahzab: 72.
[14]. Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. V (Cet. III; Beirut: Dar Ibn Kasir, 1407 H./1987 M.), h. 2383.
[15]. Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Sahih  Muslim, Juz. III (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, t.th.), h. 1457.
[16]Johaya S. Praja, tafsir hikmah: seputar ibadah, muamalah, jin dan manusia,(Bandung: Rosda Karya, 2000) cetakan I, h. 143
[17]Said Agil al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat press, 2002), cet. I, h. 200
[18]Mulyadi, Konsep Amanat dalam al-Qur’an (kajian Q. S. Al-Ahzab 72 dan Annisa 58 dalam tafsir Fi Dzilal al-Qur’an) (Jakarta: 2005), h. 5
[19]Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an Tafsir ayat-ayat Politik,(Jakarta: Pustaka Utama 2000), h. 58
[20]. Dalam kitab-kitab tauhid dijelaskan bahwa sifat yang wajib kepada para rasul ada 4, begitu juga sifat yang mustahil kepada mereka, sedangkan sifat yang boleh bagi para rasul ada satu sehingga jumlah sifat para rasul ada 9.  
[21]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 581.
[22]. Muhammad Tahir ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir,Juz. XIX (Tunis: al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984 M.), h. 158
[23]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 581.
[24]. Ibid. 232.
[25]. Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, op.cit., Juz. XIV, h. 163.
[26]. Untuk lebih jelasnya, lihat: QS. al-Syu’ara’: 142-143, 161-162 dan 177-178.
[27]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 809-810.
[28]. Ibid., h. 613.
[29]. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz. XIX (Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1420 H./2000 M.), h. 561.
[30]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 587.
[31]. Muhammad Tahir ibn ‘Asyur, op.cit., Juz. XIX, h. 189.
[32]. Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, Juz. XVII (al-Azhar: Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1991 M.), h. 414
[33]. Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kasir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz. X (Cet. I; al-Qahirah: al-Faruq al-Khadasiyah li al-Tiba’ah, 1421 H./2000 M.), h. 370
[34]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 27.
[35]. Ibid. h. 1029.
[36]. Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Juz. XXX (Cet. I; Mesir: Mustafa al-Babi al-Halibi wa Auladih, 1365 H./1946 M.), h. 59
[37]. Hal tersebut terlihat jelas ketika sekelompok jin mendengar bacaan al-Qur’an dengan seksama, kemudian pulang menasehati pengikutnya. Lihat: QS. al-Ahqaf: 29. 
[38]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 598.
[39]. Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz.III (CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah), h. 247.
[40]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 598. h. 680
[41]. Abu al-Hasan Burhan al-Din Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa’i, Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar,Juz. XV (al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Islami, t.th.), h. 425.
[42]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 1076.
[43]. Abu al-Fadl Syihab al-Din Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim wa al-Sab’ al-Masani, Juz. XXX (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-Arabi, t.th.), h. 173.
[44]. Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, op.cit., Juz. X, h. 145
[45]. Ibid.
[46]. Muhammad Rasyid ibn ‘Ali Rida, op.cit., Juz. V, h. 140.
[47]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 349.
[48]. Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal,op.cit., Juz. III, h. 352.
[49]. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,op.cit., h. 71.
[50]. Ibid., h. 128.
[51]. Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz. V (Cet. II; Damsyiq: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1418 H.), h. 120.
[52]A. Syafii Maarif, “al-Quran Berbicara tentang Keadilan dan Amanat” dalam Bulletin al-Quran no. 133, 23-June-2006, h. 17.
[54]Shahih al-Bukhari, Lidwa Software, kitab ilmu nomor adīth 57
[55]Sayyid Qub, Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syrūq), Jilid 5, h. 690
[56]Sayyid Qub, Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syrūq), Jilid 5, h. 2884
[57]Sayyid Qub, Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syrūq), Jilid 5, h. 128
[58] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh (pesan, kesan dan keserasian al-Quran), (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 159
[59] Ini termasuk juga amanat untuk menjaga dan merawat fasilitas negara dengan baik, dan apabila saatnya untuk dikembalikan, maka harus dikembalikan sesuai dengan kondisi saat pertama diberikan kepada kita
[60]Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari, hadis no. 32, 2485, 2544 dan 5630; Muslim, hadis no. 89 dan 90; al-Tirmizi, hadis no. 2555; al-Nasa’i, hadis no. 4935; Ahmad, hadis no. 8331, 8793 dan 10504.
[61](Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan-dengan tambahan: Sekalipun ia berpuasa, bersembahyang dan menyangka bahwa ia seorang Muslim."

[62]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 1 (Jakarta, Lentera Hati:2002), h.610
[63] M. Fethullah Gulen, Versi Terdalam: Kehidupan Rasulallah Muhammad SAW, (Jakarta, Raja Grafindo Persada:2002), h.36
[64]Maksudnya menunggu apa yang telah Allah janjikan kepadanya.

Komentar

Postingan Populer